SUMBER HUKUM MADZHAB DAN SEBAB PERBEDAAN PENDAPAT

  SUMBER HUKUM DALAM EMPAT MADZHAB

KH. Ahmad Syahrin Thoriq

Para ulama madzhab pada dasarnya sepakat terhadap 4 sumber hukum utama dalam Islam, yakni al Qur’an, al Hadits, Ijma’ dan qiyas. Namun kemudian mereka berbeda pendapat tentang beberapa sumber hukum lainnya yang bisa digunakan sebagai dasar pendalilan untuk menghasilkan produk hukum fiqih.

Berikut ini adalah pendapat masing-masing dari empat madzhab terkait “tambahan” sumber hukum dalam madzhab mereka. Kita akan bahas secara singkat dan ringkas saja, sekedar untuk bisa mengetahui mengapa dan bagaimana madzhab tersebut menjadikannya sebagai dasar hukum. Adapun untuk al Qur’an, al Hadits, Ijma’ dan Qiyas tidak perlu kita sertakan di pembahasan karena itu telah jelas menjadi hal yang disepakati dan telah maklum adanya dalam fiqih madzhab yang empat.

MADZHAB HANAFI

Selain al Qur’an, al Hadits, Ijma dan Qiyas, Hanafiyah menggunakan qaul Shahabi, al Istihsan, Syar’u Man Qablana dan Urf sebagai sumber hukum dalam madzhab mereka. Berikut penjelasannya.

Qaul Shahabi (Perkataan para Shahabat)

 Secara pengertian, qaul as shahabi (perkataan shahabat) adalah apa yang diriwayatkan dari orang yang telah menemani Nabi Muhammad  dalam bentuk ucapan tertentu, tidak disandarkan kepada Nabi , juga tidak memiliki status sebagai marfu' (hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi ).[1]

Atau dalam definisi lain :

قول ‌الصحابي ‌هو ما نقل وثبت عن أحد أصحاب رسول الله - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - من فتوى أو قضاء في حادثة شرعية لم يرد فيها نص من كتاب أو سنة ولم يحصل عليها إجماع

"Qaul as Shahabi adalah apa yang diriwayatkan dan dinyatakan dengan sah dari salah seorang shahabat Rasulullah  berupa fatwa atau keputusan hukum dalam suatu peristiwa syar'i yang tidak terdapat dalilnya dalam Al-Qur'an atau Sunnah, dan tidak terdapat pula ijma' (kesepakatan ulama) atasnya."[2]

 Dalam Madzhab Hanafi, qaul Shahabi dipandang sebagai salah satu sumber yang sah. Abu Sa'id al Bardha'i al Hanafi berkata, "Mengikuti shahabat adalah wajib, sehingga qiyas ditinggalkan karenanya. Kami mendapati para guru kami mengikuti pendapat ini."[3]

Al Istihsan

Al Istihsan secara bahasa artinya menganggap sesuatu sebagai baik, sedangkan lawannya adalah al-Istiqbah (menganggap sesuatu buruk atau tidak baik).[4] Dan al imam Ibnu Abidin al Hanafi mendefinisikan al Istihsan dengan : Berusaha memilih sesuatu yang lebih baik dari segi pertimbangan hukum dengan memperhatikan konteks yang ada.”[5]

 Contoh masalah yang dianggap sebagai bentuk pendalilan dari al Istihsan ini adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab radhiyallahu’anhu. Padahal hukum asalnya seharusnya para pencuri harus dipotong tangannya. Namun kemudian hukum ini ditinggalkan sementara dengan mengambil hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri, karena sayidina Umar menghubungkan dengan konteks saat itu, yakni sedang terjadi bencana kelaparan.

Urf

Al ‘Urf secara bahasa artinya : Segala sesuatu yang dikenali oleh jiwa sebagai kebaikan dan diterima dengan ketenangan, dan lawannya adalah al-Nikr (sesuatu yang tidak dikenal atau tidak disukai). Al-‘Urf dan al Ma’ruf berarti kebaikan atau kedermawanan.[6]

Sedangkan secara istilah didefinisikan dengan :

ما استقرت النفوس عليه بشهادة العقول، وتلقته الطبائع بالقبول

“Al-‘Urf adalah apa yang bisa diterima dengan baik oleh jiwa manusia berdasarkan bukti rasional, dan diterima oleh fitrah (tabiat manusia) dengan penerimaan yang alami.”[7]

 

وقد قبل الشيباني أن الحكم يتغير بتغير ‌العرف وراعى هذا المبدأ في اجتهاده. ولذلك فقد حدث اختلاف في بعض المسائل بين أبي حنيفة وصاحبيه بناءً على تغير ‌العرف

“Al Syaibani menerima bahwa hukum dapat berubah seiring dengan perubahan al ‘Urf (kebiasaan), dan ia memperhatikan prinsip ini dalam ijtihadnya. Oleh karena itu, terjadi perbedaan dalam beberapa masalah antara Abu Hanifah dan kedua muridnya berdasarkan perubahan al ‘Urf.”[8]

Urf terbagi menjadi dua, Urf qauli dan Urf ‘amali. Contoh Urf qauli misalnya di masyarakat kita kata “minta” yang diucapkan oleh seseorang di rumah makan itu secara urf dipahami sebagai ganti kata beli. “Bang minta baksonya semangkok dan es tehnya satu.”

Walapun si pembeli menggunakan kata minta, si abang penjual bakso akan langsung paham maksudnya adalah beli. Rasanya nggak akan ada penjual di Indonesia yang ketika pelanggannya ngomong minta, dijawab sama dia : “Minta-minta, beli dong.”

Syar’u Man Qablana

Yang dimaksud dengan Syar’u Man Qablana (syariat orang sebelum kita)  adalah apa yang diinformasikan kepada kita dari hukum-hukum syariat yang diberlakukan kepada umat-umat terdahulu, sebagai syariat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.[9]

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa syariat dari umat terdahulu boleh diamalkan selama tidak ada nash dalam syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang membatalkannya. Pendapat ini juga diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah.[10]

Dalil dari kehujjahan Syar’u Man Qablana sebagai sumber hukum di antaranya adalah firman Allah   :

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ

“Telah Kami syariatkan untukmu dalam agama ini apa yang Kami perintahkan kepada Nuh, yang Kami wahyukan kepadamu, dan apa yang Kami perintahkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: "Tegakkanlah agama dan janganlah kamu terpecah-belah di dalamnya." (QS. Asy Syura :13)

Bersambung ke Madzhab Maliki.

[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyah al Kuwaitiyah (34/82)

[2] Syarh al Qaraqat fi Ushul Fiqh hlm. 188

[3] Kasyf al Asrar ‘an Ushul Fakhr Islam (3/217)

[4] Tuhfah al Akhwadzi (8/39)

[5] Radd al Mukhtar (5/217)

[6] Lisan al Arab (2/239)

[7] At Ta’rifat hlm. 149

[8] Al Ushul hlm. 224

[9] AL Muhadzdzab fi Ulum Ushul Fiqh (3/972)

[10] Ushul Fiqh aladzi la yasa’u al Faqih Jahluhu hlm 191

0 comments

Posting Komentar