Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Dalam catatan sejarah, kita akan menemukan begitu banyak riwayat dari para salaful ummah dan ulama-ulama setelahnya, yang dengan tegas dan berani menasehati para penguasa di zamannya secara terang-terangan. Mereka melakukan hal tersebut karena memahami bahwa memberikan nasehat tidaklah terbatas hanya dengan cara diam-diam, melainkan boleh juga dengan cara terbuka apabila situasi dan kondisi memang menuntut hal tersebut. Berikut ini adalah beberapa contoh riwayat tersebut :
Abdullah bin Abbas yang mengkritik kebijakan Ali
Ketika sayyidina Ali bin Abi Thalib yang kala itu menjadi khalifah menjatuhkan hukuman bakar kepada beberapa orang murtad, Abdullah bin Abbas berkomentar bahwa hal itu bertentangan dengan syariat karena hanya Allah yang berhak menyiksa dengan api. Ibnu Abbas berkata :
لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم «لا تعذبوا بعذاب الله، ولو كنت أنا لقتلتهم لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم من بدل دينه فاقتلوه
"Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Janganlah kamu menyiksa dengan siksaan Allah (yaitu dengan api).' Aku berpendapat bahwa sebaiknya mereka dibunuh sesuai dengan perintah Nabi ﷺ: 'Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.'[1]
Kisah Wanita tua yang mengkritik Umar
Kisah ini sangat terkenal dan tercatat dalam beberapa kitab sejarah. Wanita tua ini mengoreksi kebijakan Umar bin Khattab terkait pembatasan mahar yang diumumkannya. Umar berdiri di atas mimbar dan berkata bahwa mahar tidak boleh terlalu tinggi. Lalu, seorang wanita tua berdiri dan berkata :
"Wahai Amirul Mukminin, apakah engkau tidak mendengar firman Allah: 'Sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun...' (QS. An-Nisa: 20)"
Mendengar ucapan wanita tua itu, Umar bin Khattab pun meralat keputusannya. Beliau kemudian berkata:
أصابت امرأة وأخطأ عمر
"Wanita tersebut benar, dan Umar lah yang salah."[2]
Abu Muslim menolak keputusan Muawiyah terang-terangan
Abu Muslim Al-Khulani menolak keputusan Muawiyah dengan berani ketika Muawiyah mengumumkan pemotongan jatah harta beberapa kaum Muslimin. Muawiyah berdiri di atas mimbar mengumumkan kebijakan tersebut, lalu Abu Muslim Al-Khulani berdiri dan berkata: "Kami tidak akan mendengar dan taat wahai Mu'awiyah!"
Mu'awiyah pun bertanya: "Mengapa wahai Abu Muslim?"
Abu Muslim menjawab dengan tegas:
يا معاوية إن هذا المال ليس لك ولا لأبيك وأمك فلم حبست على الناس العطاء؟
"Mengapa engkau memotong pemberian untuk masyarakat, padahal jatah itu bukan hasil jerih payahmu dan bukan pula jerih payah ibu bapakmu?"[3]
Pengingkaran imam Sa’id bin Musayib terhadap penguasa dzalim
Sebuah kisah yang sangat masyhur tentang al imam Sa’id bin Musayib rahimahullah yang bertindak tegas kepada seorang penguasa durjana yang paling ditakuti di zamannya, Hajjaj bin Yusuf.
Dikisahkan pada suatu waktu Hajjaj shalat berjama’ah di masjid dan berada persis di samping Sa’id bin musayib. Ternyata dalam shalat al-Hajjaj bangkit (berdiri) sebelum Imam bangkit, dan ia juga sujud sebelum Imam sujud.
Seusai mengucap salam, Sa’id langsung memegang erat-erat ujung selendang Hajjaj bin Yusuf tanpa berkata apapun sambil ia terus merampungkan dzikir setelah shalat. Sedangkan al Hajjaj terus-menerus menarik selendangnya berupaya melepaskan diri.
Hingga akhirnya Sa’id bin Musayib selesai dari dzikirnya, ia lalu menghadapkan wajahnya ke al Hajjaj dan menghardiknya :
يا سارق يا خائن؛ تصلِّي هذه الصَّلاة؛ لقد هممتُ أن أضربَ بهذا النَّعْل
“Hai pencuri ! Penghianat ! Seperti inikah shalatmu ?! Sungguh, aku ingin sekali menampar wajahmu dengan alas kakiku ini !”
Diperlakukan sedemikian rupa Hajaj bin Yusuf yang terkenal garang dan bertangan besi hanya terdiam lalu beranjak pergi.
Setelah beberapa tahun Hajjaj kembali mengunjungi Madinah dan masuk ke masjid Nabawi. Di sana ia menjumpai imam Sa’id bin Musayib yang sedang mengajar di dalam masjid. Ia mendekatinya dan berkata kepada Ibn Musayib : “Engkau yang mengajar di majelis ini ?”
Orang-orang begitu melihat Hajjaj langsung ketakutan dan mengkhawatirkan keselamatan Sa’id bin Musayib. Namun Sa’id justru berdiri dan memukul dada Hajjaj bin Yusuf sambil berkata : “Iya, memang kenapa ?”
Hajjaj kemudian menjawab :
فجزاك الله من معلم ومؤدِّب خيراً؛ ما صلَّيْتُ بعدَك صلاةً إلا وأنا أذكر قولك ثم قام ومضى .
“Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, wahai Guru dan Pengajar kebaikan. Tidaklah aku shalat setelah kejadian yang lampau itu, melainkan aku selalu teringat dengan ucapanmu.”
Kebanyakan orang tidak akan berani berkutik jika berhadapan dengan Hajjaj bin Yusuf, baik itu kalangan elit, ulama apalagi masyarakat awamnya. Tapi sang imam bahkan memperlakukan "singa" bani umayah ini laksana kucing rumahan.[4]
Ketegasan imam Sufyan ats Tsauri menolak hadiah
Ketika khalifah al Mahdi datang bersama rombongannya menemui imam Sufyan ke rumahnya untuk memberi hadiah, beliau menolak dengan berkata :
لا تبعث إليّ حتى آتيك، ولا تعطني شيئاً حتى أسألك
"Jangan pernah kau kunjungi aku hingga akulah yang mendatangimu, dan janganlah memberiku apa-apa sampai aku yang memintanya kepadamu..."[5]
Ibnu Sirin mencela penguasa dzalim di depan umum
Ibnu Hubairah guberbur Iraq pernah memanggil Ibnu Sirin, Hasan al Bashri dan Asy Sya’bi ke istananya, lalu ia bertanya kepada al imam Ibnu Sirin : “Wahai imam apa yang kau lihat sejak kau mendekat pintu istanaku ?”
Ibnu Sirin menjawab tegas :
رأيتُ ظلمًا فاشيًا، ومنكرًا قبيحًا
“Disini aku melihat kedzaliman yang merata dan kemunkaran yang ada di mana-mana !”[6]
Al
imam Izz Abdussalan rahimahullah
Ini adalah sebagian kisah dari banyak kisah yang menceritakan keberanian sosok ulama yang bergelar sultanul ulama atau rajanya ulama, yakni al imam Izz bin Abdussalam rahimahullah dalam beramar ma'ruf nahi munkar, khususnya kepada penguasa.
Dikisahkan, suatu waktu sang imam masuk ke istana dan menjumpai bahwa sultan Mesir dan para punggawanya sedang berkumpul dan berpesta dengan meriahnya.
Beliau lantas berkata kepada sultan : “Wahai Sultan, apa argumenmu di hadapan Allah ketika kelak Dia bertanya kepadamu : 'Bukankah Aku telah memberimu tanah Mesir lalu mengapa kamu mengizinkan adanya khamr dan kemaksiatan ?"
Sang Sultan lalu bertanya heran, “Apa yang anda maksudkan ?”
Meskipun Sultan dan orang-orangnya sedang berpesta pora pada saat itu, pesta tersebut tetap menjaga nilai-nilai syariat, di mana tidak ada khamr ataupun makanan haram lainnya yang disajikan.
Imam Izz kembali berkata : “Turun dan lihatlah di kedai-kedai, engkau akan menemukan masih ada yang menjual khamr dan barang maksiat lainnya.”
Mendengar itu sang sultan pun menjawab, “Oh kalau itu bukan salahku. Sejak zaman ayah dan kakakku juga sudah demikian.”
Imam Izz lantas menukas tegas , “Apakah dirimu termasuk
orang-orang yang akan menjawab,
إِنَّا وَجَدۡنَاۤ
ءَابَاۤءَنَا عَلَىٰۤ أُمَّةࣲ وَإِنَّا عَلَىٰۤ ءَاثَـٰرِهِم مُّهۡتَدُونَ
"Sungguh nenek moyang kami melakukan demikian, dan kami hanya mengikuti langkah mereka." (QS. Az-Zukhruf 22)
Sang Sultan pun terdiam dan tak lama kemudian memerintahkan untuk menutup kedai-kedai yang menjual khamr di malam perayaan tersebut.
Pernah salah seorang murid sang imam bertanya tentang rahasia keberaniannya yang luar biasa : “Wahai guru, engkau terkadang menasehati sultan saat ia berada di tengah-tengah pasukan tempurnya, apakah engkau tidak merasa takut ?”
Al Imam Izz abdussalam rahimahullah menjawab :
والله يا بني استحضرت هيبة الله تعالى، فصار السلطان قدامي كالقط
“Sungguh wahai anakku, ketika aku membayangkan kekuasaan Allah, maka sultan terlihat hanya bagaikan anak kucing di hadapanku.”[7]
Kisah imam Nawawi dengan Malik Dzahir
Ketika Sultan Adz Dzahir Baybars berangkat untuk memerangi Tatar di Syam, ia mengambil fatwa dari para ulama yang menyatakan bahwa boleh baginya mengambil harta dari rakyat untuk membantunya dalam memerangi musuh tersebut. Maka para ahli fikih Syam menulis fatwa tersebut untuknya, kecuali imam Malik yang menolak dengan tegas.
Ketika Sultan memanggilnya dan menanyakan alasannya mengapa tidak mendukung program pengambilan pajak tersebut, sang imam menjawab dengan kalimat yang menohok :
أنا أعرف أنك كنت في الرق للأمير بندقدار ، وليس لك مال. ثم من الله عليك، وجعلك ملكًا. وسمعت أن عندك ألف مملوك، كل مملوك له حياصة من ذهب، وعندك مائتا جارية، لكل جارية حقٌّ من الحلي، فإذا أنفقت ذلك كله، وبقيت مماليك بالبنود الصوف بدلًا عن الحوائص، وبقيت الجواري بثيابهن دون الحلي، أفتيتك بأخذ المال من الرعية
"Aku tahu bahwa dahulu engkau ini hanyalah seorang budak milik orang yang Amir Banduqdar, dan tidak memiliki harta sama sekali. Kemudian Allah memberimu anugerah dan menjadikanmu seorang raja. Aku mendengar bahwa engkau memiliki seribu budak, dan setiap budak memiliki sabuk emas, serta memiliki dua ratus hamba wanita, dan setiap wanita memiliki bagian perhiasan.
Jika engkau telah menghabiskan semua itu, dan para budakmu tinggal mengenakan pakaian kasar sebagai pengganti sabuk emas, dan para wanita tetap memakai pakaian mereka tanpa perhiasan, barulah aku akan memberi fatwa yang membolehkanmu mengambil harta dari rakyat jelata!"[8]
Syaikh Abdul Qadir al Jailani menegur penguasa atas kebijakannya
Ketika gubernur Yahya bin Sa'id membuat keputusan yang merugikan rakyat, seketika sang imam, Syaikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah berdiri dan mendebatnya :
وليت على المسلمين أظلم الظالمين، فما جوابك غدا عند رب العالمين
"Engkau telah menyerahkan urusan kaum muslimin kepada orang yang paling dzalim, apa jawabanmu kelak ketika menghadap Tuhan semesta alam atas keputusan dzalimmu ini ?”
Gubernur itu langsung gemetaran dan merubah keputusannya.[9]
Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat serupa dari para imam dan ulama kaum muslimin, yang mereka bukan hanya menasehati para penguasa dengan cara terbuka, namun juga bersikap tegas dalam mengingkari kedzaliman yang dilakukan oleh para penguasa di zamannya.
Wallahu a'lam
[1] Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (6/486)
[2] Al Mustashfa hal. 361
[3] Adab Kitab lil Ushul hal. 224
[4] Bidayah wa Nihayah (9/119)
[5] Min A’lam as Salaf (17/8)
[6] Miratuzzaman (10/648)
[7] Thabaqat Syafi'iyyah (8/211)
[8] Husnul Muhadharah fi Tarikh Mishr wal Qahirah (2/105)
[9] Taswibat fi Fahmi ba’dh al Ayat hal. 121
0 comments
Posting Komentar