TAGHAFUL : SIFAT DAN TABIAT ORANG-ORANG BESAR

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Hidup di zaman di mana atas nama kepo, banyak orang yang dengan mudah menghibah orang lain, atau atas nama mengkritik, gampang mencela dan menjatuhkan kehormatan pihak lain, maka bersikap taghaful adalah salah satu jalan untuk hidup tenang dan selamat.

Taghaful adalah bersikap mengabaikan omongan orang, tak terlalu menganggap kesalahan dan kekeliruan orang lain atau mudah melupakan perbuatan mereka yang menyakitkan dan tidak mengingat- ingatnya kembali. Sehingga makna Taghaful itu enjoy saja menjalani hidup. Santuy aja kata orang sekarang. Jangan gampang baperan. Diantara prinsip dalam bertaghaful : Kamu suka ngomongi saya, saya sih bodo amat.

Taghaful merupakan bagian dari akhlak orang-orang besar dan mulia. Sikap ini sangat membantu dalam menjaga serta menarik rasa kasih sayang, dan juga dalam memadamkan permusuhan serta melenyapkan kebencian. Selain itu, sikap ini menunjukkan ketinggian jiwa dan kelembutan hati. Ia juga sifat yang dapat mengangkat derajat dan meninggikan kedudukan seseorang di mata orang lain.

Ibnu Abdul Hadid melantunkan dalam salah satu bait sya'irnya :

ليس الغبى بسيد فى قومه لكن سيد قومه المتغابى

"Orang yang mudah bereaksi bukanlah orang yang layak menjadi pemimpin kaumnya. Namun, yang mampu bersikap Taghafullah yang layak untuk menjadi pemimpin.”[1]

            Diantara rahasia kekokohan dan ketokohan orang-orang besar dalam sejarah Islam adalah mereka selalu memiliki sifat yang satu ini. Sebut misalnya sosok agung seperti Shalahuddin al Ayubi rahimahullah, sang pembebas masjidil Aqsha, ketika menggambarkan kepribadiannya al imam Ibnu Atsir berkata :

وكان ـ رحمه الله ـ ‌حليما ‌حسن ‌الأخلاق، ‌ومتواضعا، ‌صبورا ‌على ‌ما ‌يكره، ‌كثير ‌التغافل ‌عن ‌ذنوب ‌أصحابه، يسمع من أحدهم ما يكره، ولا يعلمه بذلك، ولا يتغير عليه

"Beliau –rahimahullah– adalah orang yang sangat santum, berakhlak mulia, rendah hati, sabar menghadapi apa yang tidak disukainya, bersikap taghaful terhadap kesalahan orang yang bersamanya. Bila beliau mendengar sesuatu yang tidak disukainya dari orang lain, beliau tidak akan mencari tahu tentangnya dan tidak mengubah sikapnya terhadap mereka."[2]

Dikisahkan bahwa Shalahuddin Al-Ayyubi sedang duduk bersama beberapa orang, dan salah satu dari budaknya melemparkan sebuah sandal ke arah budak lain, tetapi sandal itu meleset dan hampir mengenai Shalahuddin, namun tidak mengenainya. Sandal tersebut jatuh di dekatnya, yang membuat budak yang melempar sendal itu langsung pucat pasi karena takutnya. Namun Shalahuddin saat itu justru memalingkan wajahnya ke arah lain dan berbicara dengan orang yang duduk di sampingnya. Beliau berpura-pura tidak mengetahui kejadian tersebut.[3]

Demikian juga sebuah keteladanan dari sosok khalifah yang adil sayidina Umar bin Abdul Aziz rahimahullah  tentang sifat Taghaful ini, di mana diriwayatkan pada suatu malam menjelang fajar beliau keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat Shubuh berjama'ah.

Kala itu sayidina Umar bin Abdul Aziz berangkat lebih awal, sehingga ketika beliau tiba di masjid, beberapa orang yang biasanya tidur di dalamnya masih banyak yang terlelap. Beliau pun berjalan berlahan melewati mereka, namun karena kondisi yang gelap secara tidak sengaja beliau menyenggol kaki salah seorang di antara mereka.

Lelaki itupun terbangun lalu marah dan menghardik sang khalifah : “Apakah engkau gila ?!” Mendengar itu sang khalifah hanya menjawab singkat : “Tidak.”

Setelah itu, lelaki tersebut dengan santai kembali tidur tanpa menyadari sama sekali siapa orang yang telah ia sumpahi tersebut.

Para pengawal sudah bergerak hendak meringkus lelaki itu. Namun sang Khalifah justru mencegah mereka, dengan berkata : “Biarkan dia, bukankah tadi ia hanya bertanya : "Apakah engkau gila ? " dan aku pun sudah menjawab untuknya bahwa aku bukan orang gila.”[4]

Masyaallah, benar-benar santai dan tenang. Padahal Umar bin Abdul Aziz saat itu berposisi sebagai penguasa bumi dengan luas wilayah kekhalifahannya membentang dari ujung Asia Timur hingga sebagian Eropa.

Kita yang bukan siapa-siapa tak punya wewenang atas wilayah manapun, tapi kalau dihina atau dikatain kasar oleh orang, mungkin bakal balik nyumpahin tuh orang dengan yang lebih sadis. Minimal mendoakan jelek, semisal : Jadi mandul tujuh turunan....

Lah, memang kalau orang mandul ada keturunannya ???



[1] Tarjamah Syaikh Muhammad Amin asy Syinqithi hal. 206

[2] Su’ul Khuluq hal. 103

[3] Al Kamil fi Tarikh (9/225)

[4] Kitab al Jami’ (2/425)

0 comments

Posting Komentar