Pengertian Madzhab
Dalam bahasa Arab, madzhab (مذهب) berarti "jalan" atau "cara".[1] Dikatakan (هنا مذهبُه) berarti "di sinilah jalannya", sedangkan "hana madzhabuhu" (حان مذهبُه) berarti "telah tiba waktunya untuk pergi". Jadi, kata "madzhab" berasal dari akar kata "zhahaba" (ذَهَبَ) yang berarti "pergi".[2]
Sedangkan secara istilah, apa itu madzhab didefinisikan oleh para ulama dengan istilah yang berbeda-beda.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, imam Mardawi dan lainnya mendefinisikan madzhab dengan :
ما قاله المجتهد بدليل، ومات قائلا به
“Apa yang dikatakan oleh seorang mujtahid berdasarkan dalil, dan ia meninggal dalam keadaan tetap berpegang pada pendapat tersebut.”[3]
Al Ibnu Muflih dan Abu Khattab mengatakan :
ما قاله المجتهد، أو دل عليه بما يجري مجرى القول، من تنبيه، أو غيره
"Apa yang dikatakan oleh seorang mujtahid, atau apa yang ditunjukkan olehnya yang sejalan dengan perkataannya, baik melalui peringatan atau cara lainnya."[4]
Al imam Ad Dusuqi, Muhammad Hattab mengatakan :
ما ذهب إليه الإمام من الأحكام الاجتهادية
“Apa yang dipegang oleh seorang imam dari hukum-hukum yang bersifat ijtihadiyah.”[5]
Sedangkan imam Ramli rahimahullah mendefiniskan madzhab dengan :
ما ذهب إليه الإمام، وأصحابه من الأحكام في المسائل
"Apa yang dipegang oleh imam dan para pengikutnya dari hukum-hukum dalam berbagai masalah.”[6]
Dari definisi yang telah disebutkan, bisa disimpulkan bahwa madzhab itu adalah : Pernyataan imam dalam masalah-masalah hukum yang bersifat ijtihad, apa yang dianggap sejalan dengan pernyataannya, serta kaidah-kaidah penalaran yang diikutinya, dan apa yang keluar dari pernyataannya atau kaidahnya.”[7]
- Sejarah terbentuknya madzhab
Pada awal Islam yakni di masa Nabi ﷺ dan generasi para shahabat, belum ada madzhab seperti yang kita kenal dan diistilahkan dengan madzhab fiqih hari ini. Kalau kemudian adanya beberapa rujukan yang berbeda di antara para shahabat, semisal antara yang merujuk kepada Abdullah bin Umar dengan Abdullah bin Abbas atau Abdullah bin Mas’ud, itu masih dalam bentuk yang sangat sederhana. Berkisar di perbedaan dalam menilai atau memahami dalil yang ada. Namun meski demikian, bisa dikatakan perbedaan pendapat yang ada di kalangan para shahabat menjadi semacam batu loncatan pertama menuju terbentuknya madzhab – madzhab fiqih setelahnya.
Kelahiran madzhab-madzhab fikih—baik yang masih eksis hingga hari ini maupun yang telah mengalami kepunahan tidak terjadi secara bersamaan. Namun bisa dikatakan sebagian besarnya dari madzhab-madzhab tersebut muncul dalam waktu yang cukup berdekatan. Yang secara umum cikal bakal dari embrio madzhab yang ada saat itu memiliki dua arus utama, yang pertama madrasah ahli hadits atau atsar dan yang kedua madrasah ahli ra’yi.
Madrasah ahli atsar dengan pusatnya Hijaz (Makkah dan Madinah) lebih mengutamakan pengambilan hukum dari hadits dan perkataan para shahabat. Sedangkan ahli ra’yi yang berpusat di Kufah lebih mengutamakan pemikiran dan ijtihad dalam mengambil hukum-hukum agama. Masing-masing dari dua madrasah keilmuan ini memiliki keunggulan dan karakteristik tersendiri, serta pendekatan yang berbeda dalam meninjau dan menginterpretasikan dalil-dalil agama, yang itu terlihat sangat jelas dalam kaidah-kaidah madzhab yang muncul dari keduanya.
Tentang fenomena dua kubu keilmuan ini, dikomentari oleh al imam Ibnu Rajab dengan ucapannya :
اقتضت حكمة الله سبحانه أن ضبط الدين وحفظه، بأن نصب للناس أئمة - مجتمعا على علمهم ودرايتهم وبلوغهم الغاية المقصودة في مرتبة العلم بالأحكام والفتوى - من أهل الرأي والحديث
“Adalah sebuah taqdir yang penuh dengan hikmah ketika Allah ﷻ menghendaki untuk menjaga dan memelihara agama ini dengan menghadirkan para imam di tengah-tengah manusia yang memiliki pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam bidang ilmu hukum dan fatwa, baik mereka dari kalangan ahli ra'yi maupun ahli hadits.”[8]
Madzhab yang muncul saat itu
Tidak diragukan bahwa kota-kota Islam pada abad-abad awal tidak pernah kosong dari keberadaan para ulama mujtahid. Ada beberapa madzhab yang dibangun oleh para mujtahid, namun tidak sedikit dari madzhab-madzhab tersebut yang tidak bertahan dan hilang. Berkata Syaikh Muhammad Zahrah rahimahullah :
اختلفت الآراء الفقهية، وتكونت من هذا الاختلاف مدارس فقهية، ثم تبلورت المدارس، فصارت مذاهب فقهية
“Dari adanya perbedaan pendapat dalam fiqih ini dan juga dari terbentuknya madrasah fiqih tersebut, inilah yang kemudian mengarah kepada terbentuknya madzhab-madzhab fiqih.”[9]
Berikut adalah diantara madzhab fiqih yang dilahirkan dalam sejarah Islam.
1. Yang telah punah
Madzhab al Auza’i
Tokoh pemikirnya adalah al imam Abdurrahman al Auza’i (W 157 H). beliau adalah seorang ulama fiqih terkemuka di Syam (Suriah) yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah. Ia dikenal sebagai salah seorang ulama besar Damaskus yang menolak qiyas.
Madzhab Auza’i pernah dianut oleh masyarakat Suriah sampai madzhab Syafi’i menggantikannya. Madzhab ini juga dianut masyarakat Andalusia, Spanyol, sebelum Madzhab Maliki berkembang di sana. Pemikiran Madzhab Auza’i saat ini hanya ditemukan dalam beberapa literatur fiqih. Pemikiran Auza’i dapat dilihat dalam kitab fiqih yang disusun oleh Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath Thabari yang berjudul Ikhtilaf al Fuqaha dan dalam kitab al Umm yang disusun oleh imam asy-Syafi’i.
Dalam al Umm, asy Syafi’i mengemukakan perdebatan antara Imam Abu Hanifah dan al Auza’i, serta antara Imam Abu Yusuf dan al Auza’i. madzhab ini bisa tetap eksis hingga tahun 340 H berkat seorang qadhi yang bernama Ali Hasan Abdul Qadir di Damaskus yang membela madzhab ini, Madzhab Auza’i tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak awal abad kedua Hijriyah.[10]
Madzhab ats Tsauri
Tokoh pendirinya adalah al imam Sufyan ast Tsauri rahimahullah (W 161 H). Beliau ini juga sezaman dengan Imam Abu Hanifah dan termasuk salah seorang mujtahid terkemuka ketika itu. Akan tetapi, pengikut madzhabnya tidak banyak. Sang imam juga tidak meninggalkan karya tulis apapun. Madzhab ini sempat eksis sekian waktu sampai kemudian tidak dianut lagi oleh masyarakat sejak wafatnya penerus Madzhab tersebut yaitu Abu Bakar Abdul Gaffar bin Abdurrahman ad-Dinawari pada tahun 406 H. Ia adalah seorang mufti dalam Madzhab Tsauri di masjid al Mansur, Baghdad.[11]
Madzhab al Laits bin Sa’ad
Madzhab Laits merupakan salah satu madzhab yang pernah berkembang dalam tradisi fiqih Islam, didirikan oleh Imam al Laits bin Sa'ad (W. 175 H). Al Laits adalah seorang ulama besar dari Mesir yang dikenal luas pada masanya dan seringkali dianggap setara dengan Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi'i. Meskipun madzhabnya tidak bertahan hingga sekarang, kontribusinya terhadap ilmu fiqh sangat dihormati dan dia memiliki pandangan-pandangan fiqih yang unik.
Meskipun pandangan-pandangan fiqih al-Laits tidak tersusun dalam bentuk kitab madzhab, pandangan-pandangan fiqihnya didokumentasikan dalam berbagai karya ulama yang sezaman maupun yang datang kemudian. Al-Laits memadukan tradisi fiqih dari Hijaz (berbasis hadits) dengan pandangan-pandangan ahli ra'yu (berbasis ijtihad) yang berkembang di Irak. Ini menjadikannya memiliki pendekatan fiqih yang dinamis dan tidak terbatas pada satu metode saja.[12]
Madzhab Ath Thabari
Madzhab Thabari didirikan oleh al imam Abu Ja'far Muhammad bin Jarir at Thabari rahimahullah (W 310 H). Seorang ulama besar yang dikenal sebagai ahli fiqih, hadits, dan juga tafsir. Menurut sejarawan Ibnu Nadim ath Thabari adalah salah satu tokoh terkemuka di zamannya. Karyanya yang terkenal di bidang tafsir, Jami' al Bayan fi Tafsir al Qur'an, hingga kini masih menjadi rujukan utama dalam studi tafsir.[13]
Dalam bidang fiqh, sang imam menulis kitab Ikhtilaf al Fuqaha, yang menunjukkan kedalaman pemikirannya. Sejak abad ke-4 H, madzhab Thabari tidak lagi memiliki pengikut yang signifikan.
Madzhab adz Dzahiri
Madzhab Zahiri didirikan oleh Daud adz Dzahiri rahimahullah (W 270 H). Pemikiran madzhab ini masih dapat ditemui melalui karya Ibnu Hazm (W 456 H), terutama dalam kitab al Ahkam fi Usul al Ahkam di bidang usul fiqih, serta al Muhalla di bidang fiqh. Madzhab ini berpegang pada pemahaman literal terhadap nash al Qur'an dan sunnah, selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa pengertiannya bukan literal. Jika suatu hukum tidak ditemukan dalam nash, mereka mengikuti ijma', namun dengan kriteria bahwa ijma' harus berasal dari seluruh ulama mujtahid pada masa tertentu, sesuai konsep dalam ilmu usul fiqih.
Menurut sebagian ulama, pandangan Daud adz Dzahiri dianggap sebagai bentuk halus dari penolakan terhadap ijma’, karena ijma’ semacam itu sulit tercapai, sebagaimana dijelaskan oleh Imam asy Syafi'i. Selain itu, madzhab ini menolak penggunaan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan metode-metode istinbat berbasis ra'yu (rasio). Meski banyak karya dari para tokoh Madzhab Dzahiri, pengikutnya tidak banyak, sehingga madzhab ini pun akhirnya mengalami kepunahan.
Pendapat-pendapat madzhab ini sering dijadikan perbandingan antar madzhab dalam literatur fiqih. Madzhab Dzahiri sempat dianut secara luas di Andalusia (Spanyol) dan sebagian Baghdad tetapi tidak bertahan lama.[14]
Madzhab Ibn ‘Uyainah
Pendiri dari madzhab ini adalah al imam Abu Muhammad Sufyan ibn ‘Uyainah rahimahullah (W 198 H) seorang ulama dari Kufah yang kemudian menyebarkan madzhabnya di Makkah. Madzhab ini adalah salah satu madzhab fiqh yang dari genre madrasah ahlu hadits.[15]
Meskipun mazhab ini awalnya sempat diikuti oleh beberapa pengikut di Hijaz hingga abad keempat Hijriyah, pada akhirnya ia mengalami kepunahan karena kurangnya dukungan dari ulama penerusnya dan minimnya dokumentasi. Meskipun sampai hari ini pemikiran Ibn ‘Uyainah sering dijadikan rujukan dalam literatur fiqh sebagai perbandingan dengan madzhab-madzhab lain.
Tentang madzhabnya imam Syafi’i pernah berkata :
لولا مالك وسفيان بن عيينة ، لذهب علم الحجاز
"Seandainya bukan karena jasa imam Malik dan imam Sufyan bin 'Uyainah, ilmu di negeri Hijaz pasti telah lenyap."[16]
Madzhab Sa’id bin Musayyib
Madzhab Sa'id bin Musayyib merupakan salah satu madzhab fiqih yang didirikan oleh al imam Sa'id bin Musayyib rahimahullah (w. 94 H), seorang ulama besar yang berasal dari Madinah. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka di kalangan tabi'in dan merupakan murid dari beberapa shahabat nabi seperti Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib.
Madzhab ini menekankan pada pengambilan hukum dari nash (Al Qur'an dan sunnah) serta penggunaan ijma’ (konsensus ulama) sebagai sumber kedua. Sa'id bin Musayyib dikenal dengan pendekatannya yang hati-hati dan cermat dalam menilai suatu masalah, serta lebih memilih untuk tidak memberikan pendapat apabila tidak menemukan dalil yang jelas. Beliau ini bahkan disebut sebagai tokoh yang paling mewakili dari kelompok madzhab ahli hadits.[17]
Meskipun memiliki pengikut yang cukup banyak, madzhab Sa'id bin Musayyib ternyata juga tidak bisa bertahan lama setelah generasinya. Pada abad ke-3 Hijriyah, pengaruhnya mulai memudar, terutama dengan berkembangnya madzhab-madzhab lain yang lebih terorganisir seperti Madzhab Maliki, Syafi'i, dan Hanafi. Namun, pemikiran dan fatwa-fatwa Sa'id bin Musayyib tetap dihargai dan sering dirujuk oleh ulama-ulama fiqih sebagai referensi penting dalam studi hukum Islam.
Madzhab an Nakha'i
Madzhab ini didirikan oleh al imam Ibrahim bin Zaid bin Qais an Nakha’i (W 96 H), seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi'in yang berasal dari daerah Kufah. Ia dikenal sebagai salah satu murid dari shahabat nabi Abdullah bin Mas'ud dan sebagian riwayat menyebutkan ia pernah mengambil riwayat dari ummul mukminin Aisyah.[18]
Jika imam Sa’id bin Musayyib dikenal sebagai sosok yang paling mewakili madzhab dari madrasah ahli hadits, maka imam an Nakha’i rahimahullah dikenal sebagai pengibar panji madrasah ahli ra’yi, sebelum al imam Abu Hanifah lahir dan dijuluki sebagai imamnya ahli ra’yi.[19]
Walaupun madzhab an Nakha'i memiliki pengikut dan berpengaruh di masanya, keberadaannya tidak bertahan lama. Seiring berjalannya waktu, terutama pada abad ke-3 Hijriyah, madzhab ini semakin memudar hingga akhirnya ditinggalkan oleh Masyarakat.
2. Madzhab yang masih eksis
Madzhab fiqih yang masih eksis dan terus berkembang sampai hari ini ada empat, yakni madzhab Hanafi dengan persebaran pengikut yang paling luas saat ini, disusul dengan madzhab Syafi’i, Maliki dan yang paling terbatas adalah madzhab Hanbali. Tentang ke empat madzhab ini, akan kita bahas di bahasan tersendiri yakni bab sejarah pendiri madzhab.
[1] Al ‘Ajalah al Muhtaj (1/61)
[2] Lisan al Arab (6/265), al Muhith hlm. 111
[3] Al Maswadah (2/948), at Tahbir (8/3963)
[4] At Tamhid fi Ushul Fiqh (4/368), Ushul Fiqh (4/1509)
[5] Hasyiah ad Dusuqi (1/19)
[6] Nihayah al Muhtaj (1/42)
[7] At Tamadzhub (1/73)
[8] Ar Rad ‘ala Man ittaba’ ghaira Madzhab al Arba’ah hlm. 28
[9] Tarikh al Madzhab al Islamiyah hlm. 301
[10] Tarikh al Islami (9/498)
[11] Bidayah wa Nihayah (15/560)
[12] Siyar a’lam an Nubala (8/149)
[13] Al Fihrits (1/287)
[14] Tarikh al Adab al Arabi (5/315)
[15] Siyar A’lam an Nubala (8/455)
[16] Tarikh al Baghdadi (13/192)
[17] Al Inshaf hlm. 10
[18] Siyar A’lam an Nubala (4/521)
[19] Tarikh al Madzhab al Islamiyah hlm. 262
0 comments
Posting Komentar