Saya pernah mendengar HR
Muslim (saya lupa nomor berapa) yg intinya Rasulullah memerintahkan untuk
berwudhu setelah makan makanan yang dimasak dengan api. Mohon penjelasannya ustadz.
Jawaban :
Hadits yang ditanyakan tercantum
dalam kitab shahih Muslim nomor hadits 814 Hadis dari sahabat Zaid bin Tsabit radhiyallahu
‘anhu :
الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
“Berwudhu karena makan makanan yang
tersentuh api.” (HR. Muslim)
Demikian juga hadits dengan
redaksi serupa tercantum dalam musnad imam Ahmad nomor hadits 7819 dan shahih
muslim 815 dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Permasalahan
Sebagian orang ketika membaca
riwayat tersebut kemudian berkesimpulan bahwa makan membatalkan wudhu, karena
makanan hari ini pada umumnya bentuknya adalah masakan yang dimasak dengan api.
Benarkah demikian ?
Ini pentingnya kita mengembalikan
ilmu kepada para ulama. Karena ayat atau hadits tidak serta merta bisa
disimpulkan begitu saja hukumnya, ada seabrek ketentuan dan kaidah yang harus
digunakan, agar dalil-dalil agama bisa diambil hukumnya. Dan itu domain para
ulama, bukan orang awam seperti kita.
Batalkah wudhu karena makan makanan yang dimasak ?
Ulama mazhab
dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan sebagian Hanabilah
berpendapat memakan makanan yang di masak
oleh api tidaklah membatalkan wudhu.[1]
Sedangkan
sebagian kalangan Hanabilah berpendapat bahwa hadits diatas menjadi dalil
batalnya wudhu karena makan makanan yang dimasak, sedangkan sebagian mazhab ini
hanya berpendapat bahwa hal ini hanya anjuran saja.[2]
Dalil makan masakan tidak batalnya
wudhu
Mayoritas ulama yang berpendapat
tidak batalnya wudhu karena memakan makanan yang dimasak tentu bukan tanpa
dalil apalagi mengangkangi dalil seperti tuduhan keji sebagian orang jahil yang
kurang adab kepada para ulama. Justru terdapat dalil-dalil yang stabit yang mendasari
pendapat ini, diantaranya :
Hadist dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
قَرَّبْتُ
لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- خُبْزًا وَلَحْمًا فَأَكَلَ ثُمَّ دَعَا
بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ بِهِ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ دَعَا بِفَضْلِ
طَعَامِهِ فَأَكَلَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ
“Saya pernah menghidangkan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepotong
roti dan daging lalu beliau memakannya. Kemudian beliau minta dibawakan air,
lalu beliau wudhu dan shalat dzuhur. Kemudian beliau meminta dibawakan sisa
makananya tadi, lalu beliau memakannya, kemudian beliau shalat (sunah) tanpa
berwudhu.” (HR. Abu Daud ;
shahih).
Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
الْوُضُوءُ
مِمَّا يَخْرُجُ وَلَيْسَ مِمَّا يَدْخُلُ
“Wudhu’ dikerjakan karena perkara yang keluar dan bukan karena perkara yang masuk.” (HR. Daruquthni ; shahih).
Demikian juga dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan sebuah riwayat
dari Amr bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, beliau melihat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam memotong daging kambing dengan pisau untuk dimakan. Kemudian
datang waktu shalat. Lalu beliau letakkan pisau itu, kemudian shalat tanpa berwudhu.
Lebih tegas lagi keterangan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
كَانَ
آخِرُ الأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ تَرْكَ الْوُضُوءِ مِمَّا غَيَّرَتِ
النَّارُ
“Aturan terakhir dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak
berwudhu karena makan makanan yang dimasak.” (HR. Abu Daud 192, Nasai 185, Ibnu Hibban 1134 ; shahih).
Ketika menyebutkan hadits
diatas imam at Tirmidzi berkata : “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas ulama di kalangan para sahabat Nabi shallallahu‘alaihi wasallam, tabi’in dan generasi setelahnya.
Seperti Sufyan at-Tsauri, Ibnul Mubarak, as-Syafii, Ahmad, Ishaq. Mereka berpendapat tidak perlu wudhu karena
makan makanan yang dimasak. Itulah hukum terakhir dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hadits ini adalah yang menghapus hukum untuk hadist pertama,
yaitu hadist perintah wudhu karena makan makanan
yang dimasak.[3]
Kesimpulan
Makan masakan tidak membatalkan
wudhu menurut pendapat mayoritas ulama dan ini pendapat yang rajih.[4]
Wallahu a’lam.
[1] Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al
Kuwaitiyyah
(43/394), Badai’ ash Shanai’ (1/32), Raudh ath Thalibin (1/72),
Majmu’ (2/57), Al Mughni (1/179), al Inshaf (1/126), Bidayatul
Mujtahid (1/46).
0 comments
Posting Komentar