APAKAH SUARA WANITA AURAT ?
Assalamu’alaikum
Wr Wb
Bapak ustadz, apakah suara
wanita termasuk aurat ?
0813478258xx
Jawaban :
Ulama
berbeda pendapat tentang hukum suara wanita. Sebagian ulama ada yang menyatakan
bahwa suara wanita adalah aurat. Namun, menurut pendapat jumhur (mayoritas)
ulama, suara wanita bukanlah aurat. Sehingga siapapun boleh saja mendengar
suara seorang wanita atau mendengarnya berbicara, karena tidaklah termasuk hal
yang terlarang dalam Islam. Ini adalah pendapat yang paling kuat dalam masalah
ini.

Dikatakan
: “Ada pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat
dengannya, atau khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan
mendengarkannya, jika tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat radhiyallahu’anhum mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka (dan itu tidak mengapa).[2]
Dalil yang menunjukkan bahwa
suara wanita bukanlah aurat sangatlah banyak, diantaranya adalah sebagai
berikut :
A.
Dalil Al Qur’an
Berikut
ini diantara ayat al Qur’an yang menyebutkan secara tersurat maupun tersirat
bahwa suara wanita itu bukanlah aurat.
1.
Allah k memerintahkan para istri Rasulullah n agar
berkata-kata, namun dengan perkataan dan cara yang baik. Dan tentunya perkataan istri Nabi itu
akan di dengar bukan saja oleh para shahabiyah tetapi juga para shahabat
g. FirmanNya :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ
لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ
بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Wahai
istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu
bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah
orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (Al-Ahzab: 32)
Meskipun konteks ayat diatas membicarakan para
umahatul mukminin, tetapi sudah maklum dan ma’fum dipahami, hukum ayat ini
tentunya berlaku untuk semua kaum muslimah.
2.
Allah l menceritakan wanita yang menggugat kepada Nabi n
tentang dzihar yang dilakukan suami wanita tersebut. FirmanNya :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar hiwar (dialog) antara
kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (
Al Mujadilah : 1)
Dan tentu saja pengaduan wanita tersebut
kepada Nabi n mengunakan kata-kata, bukan dengan
bahasa isyarat. Dan mustahil Rasulullah n
akan mau mendengar suara wanita tersebut bila hal tersebut adalah aurat.
3.
Dalam al Qur’an terdapat kisah tentang dialog Nabi Musa w dengan dua wanita
kakak beradik,
yakni putri nabi Syu’aib, FirmanNya :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ
يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا
خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ
كَبِيرٌ
“Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata:
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita itu
menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah
orang tua yang telah lanjut umurnya." (Al
Qashash : 23)
Dan
disambung diayat selanjutnya :
فَجَاءَتْهُ
إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ
لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ
الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua
wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku
memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum
(ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan
kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu
takut. kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."
(Al-Qashash: 25)
Demikianlah, masih banyak dalil dalam kitabullah yang
menunjukkan bahwa suara wanita bukanlah aurat. Baik dalil-dalil tersebut
bersifat umum yang mewajibkan, menyunnahkan, atau memubahkan berbagai
aktivitas, yang berarti mencakup pula bolehnya wanita melakukan
aktivitas-aktivitas itu.
Seperti
para wanita berhak dan berwenang melakukan aktivitas jual beli (QS. Al-Baqarah:
275; QS. An-Nisa’:29), berhutang-piutang (QS. Al-Baqarah: 282), sewa-menyewa (ijarah) (QS. Al-Baqarah: 233; QS.
Ath-Thalaq: 6), memberikan persaksian (QS. Al-Baqarah: 282), menggadaikan
barang (rahn) (QS. Al-Baqarah: 283),
menyampaikan ceramah (QS. An-Nahl: 125; QS. As-Sajdah: 33), meminta fatwa
(QS. An-Nahl: 43), dan sebagainya. Yang kesemuanya itu hampir mustahil tidak
menggunakan aktivitas suara/ berbicara.
B.
Hadits Nabi dan
Atsar para shahabat
1.
Shahabiyah
(shahabat wanita) mereka berbicara dengan Rasulullah n.
Banyak
hadits yang menceritakan bahwa para shahabat wanita dahulu juga bertanya kepada
Rasulullah n,,,
bahkan ketika Nabi n
sedang berada di tengah-tengah para sahabat laki-laki. Diantaranya adalah apa
yang disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ، جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ
تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ، أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ
لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ
أَحَقُّ بِالوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas h, bahwa ada seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Rasulullah n, lalu berkata : “Sesungguhnya ibuku telah bernadzar
untuk pergi haji, tetapi dia meninggal sebelum berangkat haji, apakah saya bisa
berhaji atas nama ibu saya?” Beliau bersabda: “Ya, berhajilah untuknya, apa
pendapatmu jika ibumu punya hutang? Bayarlah hutang kepada Allah, sebab hutang
kepada Allah lebih layak untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari no : 1852)
2.
Para Shahabat mendatangi ummul mukminin untuk bertanya hukum agama.
Dan
para sahabat sendiri juga pernah pergi kepada ummahatul mukminin (para
isteri Rasulullah) untuk meminta fatwa dan mereka pun memberikan fatwa dan
berbicara dengan orang-orang yang datang. Dan tidak ada seorang pun mengatakan,
“Sesungguhnya ini dari Aisyah atau selain Aisyah telah melihat aurat yang wajib
ditutupi,” padahal isteri-isteri Nabi mendapat perintah dengan keras yang tidak
pernah dirasakan bagi wanita lainnya.[3]
Al Ahnaf ibn Qais berkata : “Aku telah
mendengar hadits dari mulut Abu Bakar, Umar,
Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku
mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)
Utsman dan Ali. Dan aku tidak pernah mendengar hadits sebagaimana aku
mendengarnya dari mulut ‘Aisyah.” (HR. Al Hakim)
Musa bin Thalhah ra. berkata :
مَا
رَأَيْتُ أَحَدًا أَفْصَحَ مِنْ عَائِشَةَ
“Aku
tidak pernah melihat seorang pun yang lebih fasih bicaranya daripada Aisyah.” (HR. Tirmidzi)
1.
Pendapat ulama mazhab
Berikut
perkataan para ulama dan yang termaktun dalam kitab-kitab mu’tabarah
yang menjelaskan tentang hukum suara wanita :
- Hanafiyah
Ada
sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berpendapat suara wanita
adalah aurat. Namun, menurut khabar yang kuat adalah bahwa kalangan Hanafiyah menyatakan suara wanita bukan aurat.[4]
- Malikiyah dan Hanabilah
Dalam
al Mausu’ah Fiqihiyah al Kuwaitiyah juz 4 halaman 91 dapat disimpulkan
tentang pandangan kedua mazhab ini bahwa suara wanita bukanlah aurat. Yaitu ketika
mereka berpendapat dibencinya mendengarkan nyanyian wanita.
- Syafi’iyah
Diketahui secara pasti pendapat dari mazhab
ini, bahwa suara wanita bukanlah aurat. Dan bahkan menurut syafi’iyah, boleh
mendengarkan suara wanita menyanyi dengan catatan aman dari fitnah.[5]
2. Pendapat para ulama
lainnya.
- Umairah mengatakan : “Suara
perempuan bukan aurat berdasarkan pendapat sahih, maka tidak haram
mendengarnya.”[6]
- Zainuddin al-Malibary berkata : “Suara tidak termasuk aurat, karena
itu tidak haram mendengarnya kecuali dikuatirkan fitnah atau berlezat-lezat
dengannya sebagaimana yang telah dibahas oleh Zarkasyi.”[7]
- Syaikh
al Jaziri Hafizhahullah berkata : “Suara wanita
bukanlah aurat. Karena istri-istri Nabi dahulu juga bercakap-cakap dengan para
shahabat.[8]
Kalangan Yang Mengatakan Bahwa Suara Wanita Aurat
Namun, sebuah fakta
yang tidak bisa kita pungkiri, bahwa ada sebagian ulama yang memang berpendapat
bahwa suara wanita adalah aurat. Pendapat mereka ini didasarkan kepada beberapa
dalil diantaranya :
1. Hadits Rasulullah
Saw, beliau bersabda :
الْمَرْأَةُ
عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita
adalah aurat, jika dia keluar maka syetan akan mengawasinya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah Thabarani
; shahih)
Berdasarkan makna dzahir hadits ini, kalangan ini menyimpulkan bahwa semua bagian dari wanita
adalah aurat termasuk suaranya.
Bantahan : Dalam Ilmu fiqih tidak asing
lagi diketahui adanya dalil yang bersifat ‘aam (umum) dan dalil khosh (khusus). Jadi sebuah dalil terkadang bermakna mujmal (global) tetapi ada pula yang muqayad (terbatasi). Contohnya firman Allah Swt dalam
surat al-Maidah ayat 3 yang menjelaskan keharaman semua bangkai, tetapi
kemudian dikhususkan bangkai binatang laut darinya, dalil takhsisnya adalah
sabda Nabi : “Dihalalkan bagi kami dua
bangkai…. Yaitu (bangkai) ikan dan belalang.”
Oleh karena itu para ahli ushul membuat
kaidah, Hamlul Muthlaq ilal Muqayyad (Memahami dalil yang umum harus dibatasi oleh yang khusus).
Hadits diatas adalah hadits umum yang
menginformasikan secara umum bahwa tubuh wanita adalah aurat, yang kemudian ditakhsis (dibatasi) dengan hadits-hadits
yang menunjukkan bahwa wajah, telapak tangan dan termasuk suara adalah yang
dikecualikan.
2. Firman Allah ta’ala :
وَلَا يَضْرِبْنَ
بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
“Dan janganlah
mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (An Nuur : 31)
Menurut kalangan ini, jika gelang kaki wanita saja dilarang untuk digetarkan sehingga terdengar
suaranya, maka suara wanita lebih layak dilarang karena lebih merdu dibanding
suara gelang.
Namun dalil ini dibantah oleh para
ulama, dan nampak dalil dengan ayat ini tidaklah tepat. Karena yang dilarang
dari seorang wanita pada ayat diatas adalah pada perbuatannya yang memamerkan
perhiasannya. Jika dikiaskan dengan suara wanita tentu tidak tepat, karena
suara manusia itu termasuk kebutuhan yang sangat penting, keharaman barulah ada
apabila mempergunakannya untuk merayu dan mengundang syahwat.
3. Cara menegur imam
bagi makmum yang tidak menggunakan suara.
Dalil lainnya yang digunakan adalah dengan adanya ketentuan bagi makmum
wanita yang menegur imam yang keliru, yaitu hanya diperbolehkan menggunakan
tepukan tangan. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits ketika Rasulullah n
ditanya tentang cara menegur imam yang keliru, beliau menjawab :
مَنْ نَابَهُ شَىْءٌ فِى صَلاَتِهِ
فَلْيُسَبِّحْ فَإِنَّهُ إِذَا سَبَّحَ الْتُفِتَ إِلَيْهِ وَإِنَّمَا
التَّصْفِيحُ لِلنِّسَاءِ
“Barangsiapa menjadi makmum lalu
merasa ada kekeliruan dalam shalat, hendaklah dia membaca tasbih. Karena jika
dibacakan tasbih, dia (imam) akan memperhatikannya. Sedangkan tepukan khusus
untuk wanita.” (HR. Bukhari no. 7190 dan Muslim no. 421)
Logikanya, jika bukan aurat,
tentunya kaum
wanita pun juga sama dengan laki-laki, yakni diperbolehkan menggunakan suaranya mengucap subhanallah.
Namun, lagi-lagi alasan ini juga
lemah dan penakwilan yang
berlebihan, sebab apa yang wanita lakukan dengan bertepuk tangan
ketika meluruskan kekeliruan imam, itu adalah sebuah
aturan baku yang ada dalam shalat yang sifatnya ta’abudiyah, yang tidak ada kaitannya dengan aurat
atau bukan.
Penutup
Suara wanita menurut
pendapat yang shahih bukanlah aurat, karena itu tentunya tidak mengapa bila
seorang wanita berkata-kata dengan siapapun dengan perkataan yang baik. Namun,
untuk berbicara dengan lelaki asing maka hendaknya tidak berkata-kata dengan
intonasi yang menyerupai desahan, yang akan mengundang fitnah dan keburukan.[9]
Suara empuk dan
tawa canda seorang wanita terlalu sering kita dengarkan di sekitar kita, baik
secara langsung atau lewat radio dan televisi. Hendaknya ini di jauhi oleh
setiap muslimah, karena Allah ta’ala telah mengingatkan : “Maka janganlah kalian merendahkan
suara dalam berbicara sehingga berkeinginan jeleklah orang yang ada penyakit
dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang ma‘ruf.” (Al Ahzab: 32)
Wallahu A’lam
[3]
Allah
ta’ala berfirman :
يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ
“Wahai istri-istri Nabi, kamu
sekalian tidaklah seperti wanita yang lain.
Diantara
bentuk perlakuan yang lebih ‘keras’ bila dibandingkan dengan wanita lain pada
umumnya adalah kewajiban untuk berbicara dengan mereka dipisah oleh tabir. Sebagaimana
yang ditegaskan dalam al Qur’an :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ
مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ
وَقُلُوبِهِنَّ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ
تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِنْدَ
اللَّهِ عَظِيمًا
“Apabila kamu meminta sesuatu kepada mereka, (istri-istri
Nabi) maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian
itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti
rasulullah dan tidak mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia
wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar di sisi allah.” ( Al-ahzab: 53)
[6] Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah,
Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, I/ 177.
[7] Fath al-Mu’in, Thaha Putra, Semarang, III/260.
[8] Fiqh ‘Ala Mazhabil ‘Arba’ah, I/170.
[9]
Ada
pun jika suara wanita, maka jika si pendengarnya berlezat-lezat dengannya, atau
khawatir terjadi fitnah pada dirinya, maka diharamkan mendengarkannya, jika
tidak demikian, maka tidak diharamkan. Para sahabat –semoga Allah meridhai
mereka- mendengarkan suara wanita ketika berbincang dengan mereka. Janganlah
wanita memerdukan suaranya, mengeraskan, dan melembutkannya, karena di dalamnya
memiliki dampak lahirnya fitnah. Hal itu ditegaskan dalam firmanNya: Maka
janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang
ada penyakit dalam hatinya. {Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, (4/90)}
0 comments
Posting Komentar