Keluar berdakwah
(khuruj) 3 hari, 40 hari, dan 4 bulan
itu bid’ah ?
Pembatasan dan
Pengkhususan Bilangan
Apakah dakwah terkeluar dan bukan dari salah satu cabang ilmu ? Dan kaum
muslimin sejak masa Nabi y
hingga sekarang rajin membuat kelompok yang mempelajari metode dakwah, teknik,
dan tujuan-tujuannya. Inilah yang dipelajari oleh fakultas dakwah, universitas
al Azhar di Kairo Mesir, fakultas dakwah di Madinah al Munawarah, dan masih
banyak di perguruan tinggi dunia islam lainnya.
Fatwa Al-Azhar ; Hukum Bepergian
untuk Berdakwah (Khuruj) ala Jamaah Tabligh
Jama'ah Tabligh
Assalamu’alaikum wr wb
Pengasuh al Bayan yang
terhormat, sudah beberapa kali kami kedatangan tamu dari jama’ah tabligh, dan
ceramah yang disampaikan selalu sama, yang intinya mengajak kita untuk I’tikaf
di masjid 2,5 jam setiap hari, 3 hari setiap bulan, 40 hari setiap tahun dan 4
bulan seumur hidup. Dan juga ada
kegiatan mendatangi rumah-rumah untuk diajak ke masjid. Pertanyaan saya, adakah
dalil/ tuntunan Nabi amaliyah diatas ?
Sebab saya sudah mencari di buku-buku hadits tetapi tidak menemukan pendukung ajaran
tersebut. Mohon penjelasannya. Terimakasih banyak. (Hamba Allah – Sangatta)
Jawaban
Wassalamu’alaikum wr wb
Sebelum kita membahas tentang
pertanyaan antum seputar hukum amaliyah Jama’ah Tabligh, ada baiknya terlebih
dahulu kita mengenal gerakan kaum muslimin yang satu ini terlebih dahulu.
Profil Singkat Jama’ah Tabligh
Jama’ah
Tabligh didirikan pada akhir dekade 1920-an oleh seorang ulama yang bernama
Muhammad Ilyas Kandhalawi di Mewat, sebuah provinsi di India. Nama Jama'ah
Tabligh sendiri bukanlah nama resmi gerakan ini, tetapi adalah semacam ‘gelar’ yang diberikan
masyarakat umum. Bahkan, Muhammad Ilyas sendiri mengatakan : “Seandainya aku
harus memberikan nama pada usaha ini maka akan aku beri nama "gerakan
iman". Ilham untuk mengabdikan hidupnya total hanya untuk Islam terjadi
ketika Maulana Ilyas melangsungkan Ibadah Haji kedua-nya di Hijaz pada
tahun1926.
Jamaah ini
mengklaim tidak menerima donasi dana dari manapun untuk menjalankan
aktivitasnya. Biaya operasional Tabligh dibiayai sendiri oleh pengikutnya.
Markas
internasional pusat Tabligh adalah di Nizzamudin, India. Kemudian setiap negara
juga mempunyai markas pusat nasional, dari markas pusat dibagi markas-markas
regional/daerah yang dipimpin oleh seorang Shura. Kemudian dibagi lagi menjadi
ratusan markas kecil yang disebut Halaqah. Kegiatan di Halaqah adalah
musyawarah mingguan, dan sebulan sekali mereka khuruj selama tiga hari. Khuruj
adalah meluangkan waktu untuk secara total berdakwah, yang biasanya dari masjid
ke masjid dan dipimpin oleh seorang Amir. Orang yang khuruj tidak boleh
meninggalkan masjid tanpa seizin Amir khuruj. Tetapi para karyawan
diperbolehkan tetap bekerja, dan langsung mengikuti kegiatan sepulang kerja.
Sewaktu
khuruj, kegiatan diisi dengan ta'lim (membaca hadits atau kisah sahabat,
biasanya dari kitab Fadhail Amal karya Maulana Zakaria), jaulah (mengunjungi
rumah-rumah di sekitar masjid tempat khuruj dengan tujuan mengajak kembali pada
Islam yang kaffah), bayan, mudzakarah (menghafal) 6 sifat sahabat, karkuzari
(memberi laporan harian pada amir), dan musyawarah. Selama masa khuruj, mereka
tidur di masjid. [1]
Sebagian
kalangan memang mempermasalahkan bahkan menuduh khurujnya ala Jama’ah Tabligh
selama 3 hari, 40 hari atau 4 bulan adalah bid’ah, sebab Nabi y dan para shahabatnya tidak
pernah melakukannya, dan demikian juga para salafuna shalih, dan yang
pasti amalan ini tidak tercantum dalam kitab-kitab sunnah.
Tetapi
benarkah kemudian khuruj ini bisa dihukumi sebagai bid’ah yang sesat,sehingga
sama saja bisa dikatakan Jama’ah Tabligh adalah aliran sesat ? Mari kita simak
penjelasannya.
Syaikh
Aiman Abu Syadzi berkata, “Bid’ah secara khusus bermakna telah keluar dari
aturan yang telah dibuat oleh Dzat pembuat syariat, yaitu Allah l.
Dengan ketentuan seperti ini , maka segala sesuatu yang jelas dan dilakukan
untuk berhubungan dengan agama atau tidak keluar dari aturan syariat, tidak
termasuk bid’ah.[2]
Khuruj
bukanlah sebuah bentuk ibadah(madzah) yang di ada-adakan semacam shalat, haji,
dll. Jika ada pemahaman semacam ini, maka ini adalah kesalahpahaman yang harus
diluruskan, karena khuruj adalah sebuah usaha menyampaikan dakwah yang diatur dan
ditata sedemikian rupa.
Lalu
apakah dakwah ilallah yang bertujuan untuk membawa manusia kepada hidayah itu
keluar dari syariat Allah dan Rasul-Nya ? padahal Allah dengan tegas telah
memerintahkan Nabi y dan kaum muslimin untuk berdakwah,
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( … ÇÊËÎÈ
“Serulah (mereka) ke jalan
Tuhanmu dengan hikmah dan ajakan hasanah.” (An-Nahl:125)
Dan Firman-Nya pula :
“Dan hendaklah dari kalian ada segolongan umat yang mengajak
kebaikan dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Dan
merekalah orang-orang yang beruntung.”
(Ali-Imran: 104)
Dan Nabi y pun telah memerintahkan berdakwah kepada
seluruh umatnya dengan sabdanya, “Sampaikanlah kalian dariku walaupun satu
ayat.” Dan sabda beliau, : “Hendaklah yang hadir dari kalian menyampaikan
kepada yang tidak hadir.”
Jika demikian, lalu mengapa
saudara kita yang berkecimbung dalam dakwah ini dicela ? Apalagi memvonis mereka
sebagai ahlu bid’ah ?
Diantara
mereka ada yang berkata, bahwa masalahnya adalah; mengapa harus 3 hari, 40
hari, atau 4 bulan? Pembatasan waktu inilah yang menjadikan khuruj disebut
bid’ah.
Maka
disini kami akan melakukan pelurusan mengenai masalah ini, sehingga mereka yang
hatinya mau menerima kebenaran bisa memahaminya.
Terdapat
banyak hadits-hadits shahih dan juga penjelasan ulama' salaf dan khalaf yang
mengesahkan pembatasan dan pengkhususan waktu-waktu tertentu untuk melaksanakan
kewajiban syar’i.
Syaikh
Aiman Abu Syadi berkata : Mari kita memperhatikannya menurut ilmu Ushul Fiqih;
Kami tidak menerima seandainya bilangan-bilangan ini disebut bermakna
pembatasan, sebab masalah itu masuk dalam kaidah MAFHUM ‘ADAD (pengertian
bilangan). Dan menurut jumhur ahli ushul fiqih, pengertian bilangan bukanlah
hujjah secara substansi. Dan tidak ada konotasi pemahaman untuk bilangan, serta
tidak bermakna peringkasan atas jumlah tersebut.[3]
Definisi
Mafhum ‘adad adalah ; Penunjukan lafadz yang diqaidi (disyariatkan) dengan
suatu bilangan untuk menafikan suatu hukum yang lebih atau kurang, atau untuk
menetapkan suatu pertentangan hukum yang diqayyid (disyariatkan) dengan suatu
bilangan ketika tidak adanya realisasi bilangan ini dengan dikurangkan atau
ditambahkan.
Apabila suatu hukum dikhususkan
dengan bilangan tertentu dan dibatasi dengannya, seperti firman Allah ta’ala : “…..Maka deralah mereka (yang menuduh itu) 80 kali dera.” (an-Nur:4).
Maka
bilangan 80 ini tidak berarti menafikan hukum selain bilangan 80 tersebut, baik
hukum yang lain itu bertambah atau berkurang dari hukum yang telah dibatasi
oleh bilangan tadi.
Definisi
ini dibuat oleh Imam Al-Baidawi, Imam Al-Haramain, Abu Bakr Al-Bakilani, Imam
Al-Amandi, dan mayoritas madzab Imam Hanafi. Mereka berargumentasi bahwa setiap
bilangan, meskipun hakikatnya berbeda, namun tidak mengharuskan perbedaan dalam
hukum-hukum penggabungan (isytirak). Bilangan-bilangan yang berbeda dalam satu
hukum itu tidak terlarang. Selama permasalahannya adalah demikian, maka
pengkhususan hukum dengan bilangan, tidak mewajibkan hukum tersebut dinafikkan
dari bilangan lainnya, sehingga lafadz tersebut menunjukkan kepada yang
lainnya.
Mari
kita sesuaikan pendapat para ulama tersebut dengan hadits Nabi y sebagai conto, karena
keterbatasan halaman, kita memakai satu contoh saja :
Imam An-Nawawi di dalam Riyadhush
Shalihin menyampaikan wasiat yang disampaikan oleh para imam terhadap para
pencari ilmu. Wasiat tersebut diawali oleh imam Adz-Dzahabi dalam bab
At-Taubah. Dari Abu hurairah a, aku mendengar Rasulullah y bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun (beristighfar) kepada Allah
dan bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih daripada tujuh puluh kali.”[4]
Imam Adz-Dzahabi pun
menyampaikan dari Argharbin Yasar Al-Muzani, Rasulullah y bersabda, “Wahai manusia, bertaubatlah kalian kepada Allah dan beristighfarlah
kalian kepadaNya, karena Aku berstighfar dalam sehari 100 kali” (HR.
Ahmad).
Di
dalam hadits pertama disebutkan bahwa Nabi y beristighfar 70 kali dan didalam hadits yang lain
disebutkan 100 kali. Manakah dari kedua hadits ini yang dimaksud oleh Nabi y ? Apakah kedua perintah hadits
ini dapat digabungkan dan diamalkan ? Apakah kedua hadits ini saling
bertentangan satu sama lainnya ?
Jawabannya, Pasti tidak
bertentangan. Maksud istighfar dalam kedua hadits tersebut adalah memperbanyak
istighfar dan menghimbau untuk bertaubat dan kembali ke jalan Allah Taala.
Tidak ada pertentangan dan tidak ada perbedaan diantara kedua hadits tersebut,
sebab perintah istighfar dalam kedua hadits tersebut tidak dibatasi oleh
substansi bilangan 100 atau 70 kali. Siapa yang menginginkan lebih daripada
jumlah tersebut, itu lebih baik dan diterima. Dan barangsiapa yang istighfarnya
tidak sampai 100 atau 70 kali, iapun tidak berdosa dan tidak mengapa, sebab
kedua jumlah ini hanyalah perintah mandubah dan mustahabah (disukai), yang
menjadikan pelakunya terpuji dan tidak tercela bagi yang meninggalkannya..
Imam Az-Zarkasyi berkata, “Sesungguhnya
pengkhusussan dengan bilangan tidak menunjukkan bertambah atau berkurangnya
suatu bilangan. Maksudnya tidak menunjukkan penolakan hukum yang dikhususkan
dengan bilangan itu, baik bertambah atau berkurangnya bilangan tersebut.”[5]
Pendapat
ini sama dengan perkataan ulama ushul fikih. Menurut pendapat yang shahih,
bahwa pengertian bilangan tidak selalu merupakan dalil ketetapan dan
pembatasan. Lalu apakah masuk akal, tuduhan orang yang mencela dan menganggap
bahwa jama’ah Tabligh telah membatasi dakwah mereka dengan hitungan hari-hari
tertentu dan khusus, seperti 3 hari, atau 40 hari, dan seterusnya ?
Padahal
3 hari, 40 hari, atau 4 bulan itu bukan hujjah dan tidak bermakna pembatasan
dan peringkasan dalam kewajiban dakwah, bilangan hari-hari tersebut hanya untuk
mempermudah tertib waktu yang digunakan oleh para ahli dakwah dalam
melaksanakan aktivitas dakwahnya. Hal ini bisa dibuktikan dari perkataan para ulama
jama’ah ini, bahwa Waktu-waktu itu hanyalah untuk kemudahan tertib, bukan
sebagai pembatasan.
Syaikh
umar palanpuri di dalam penjelasannya disalah satu ijtima’ berkata, “siapa yang
siap khuruj fi sabilillah 40 hari ?” lalu ada seorang pemuda berdiri, dan
berkata, “ ya syaikh kenapa harus 40 hari ?" Lalu syaikh menjawab, “Baik
siapa yang siap 39 hari?”[6]
Dengan
demikian, -menurut konsep ini-, setiap jumlah bilangan hari ( 3 hari, 40 hari,
4 bulan) yang disebutkan oleh para ahli dakwah atau yang tidak disebutkan oleh
mereka di dalam tertib waktu-waktu tertentu untuk berdakwah di jalan Allah,
tidak berarti menafikkan fadhilah dan hukum bilangan-bilangan yang selainnya,
baik yang bertambah atau berkurang. Apabila ada yang keluar untuk berdakwah
selama 2 hari, maka ia tetap akan medapatkan fadhilah berdakwah dan pahalanya.[7]
Selanjutnya
Imam Al –Izz bin Abdissalam di dalam Qawaa’idil Ahkam memberi isyarat dengan
ucapannya tentang bid’ah-bid’ah wajibah, diantaranya yaitu : Sesuatu yang
kewajibannya tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
Dan semua perantara yang dengannya Kalamullah dan sabda Rasulullah y dapat dipahami, maka hukumnya
wajib. Seperti, sibuk mempelajari ilmu nahwu dan perkara lainnya yang tidak
sempurna kewajibannya kecuali dengannya.
Termasuk
didalamnya pengkhususan waktu untuk mempelajari ilmu agama, sehingga dengan
pengkhususan tersebut, dapat diketahui apa maksud Allah dan Rasul-Nya, dan
termasuk juga pengkhususan waktu untuk berdakwah dan menyebarkan risalah Nabi y. Dakwah ilallah serta
menyampaikan risalah adalah kewajiban yang keutamaannya telah disepakati oleh
kaum muslimin.
Demikian
juga berbagai wasilah (perantara) yang mendorong untuk keberhasilan sesuatu
misalnya melalui penentuan waktu khusus untuk menjalankan kewajiban, dimana
sempurnanya kewajiban tersebut bergantung pada waktu-waktu tersebut dan secara
akal tidak dianggap berhasil kecuali dengan pengkhusussan waktu-waktu tersebut.
Waktu-waktu itu termasuk sebagai wasilah (perantara) untuk menunaikan kewajiban
yang tidak mungkin dapat dilaksanakan kecuali dengannya.
Oleh
sebab itu, tidak ada satu madrasah atau perguruan tinggi islampun, kecuali
mengkhususkan waktu untuk mempelajari ilmu syariat yang bermacam-macam itu.
Kami menemukan bahwa di fakultas-fakultas syariah di al Azhar asy-Syarif di
kairo mesir, menentukan 4 tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu syariat yang lurus.
Demikian pula di fakultas-fakultas Ushuludin, dan fakultas –fakultas dakwah di
universitas islam di madinah munawarah, dan perguruan-perguruan tinggi islam
yang tersebar di seluruh dunia islam.
Tentu
tidak akan ada orang yang mengaku sudah mempelajari ilmu-ilmu agama, lalu ia
mengaku bahwa pengkhususan waktu itu adalah bid’ah dan sesat, karena tidak
dilakukan pada masa Rasulullah y.
Imam
Al-Izz bin Abdisallam menyatakan bahwa menyampaikan risalah kepada generasi
penerus adalah wajib secara ijma’. Dan kewajiban ini tidak sempurna, kecuali
melalui wasilah yang dapat mendatangkan, mendorong, dan menunjukkan kepadanya.
Dalam
hal ini tidak ada batasannya, sebagaimana imam syatibi t
telah berdalil didalam al ihtisham dengan berkata, “Perintah menyampaikan
syariat, tidak ada pertentangan didalamnya, karena Allah l berfirman,
$pkr'¯»t ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& øs9Î) `ÏB y7Îi/¢
“Wahai
rasul, sampaikanlah sesuatu yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu.” (Al Maidah:67)
Umatnyapun diwajibkan untuk
menyampaikan risalah tersebut. Didalam hadits disebutkan, ‘Hendaklah yang
hadir diantara kalian menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Shahih
Bukhari).
Dengan
demikian, termasuk dalam bab ini adalah khuruj fi sabilillah dan segala
penyampaian risalah yang telah dilaksanakan oleh para dai, sepanjang wasilah
itu sesuai dengan syar’i, nash, dan maslahat umum, seperti mengarang buku
dakwah, siaran radio dan televisi islam, kaset-kaset dakwah, yang semua itu
tidak pernah ditemukan pda masa dahulu.
Demikian
pula jika adanya wasilah tertentu dalah hal ini menentukan waktu untuk mencapai
kepada yang wajib, maka tidaklah mengapa, sebagaimana ditentukan waktu-waktu
khusus untuk mempelajari alquran dan hadits, maka waktu-waktu tersebut, baik
lama maupun sebentar, berhari-hari, berbulan-bulan, atau bertahun-tahun, semua
itu termasuk dalam wasilah kepada yang wajib; termasuk hukum meluangkan waktu
untuk khuruj fi sabilillah demi meningkatkan keimanan dan keshalihan.[8]
Penentuan waktu untuk tujuan
syar’i termasuk sunnah
Syaikh
Aiman abu syadi berkata, “selanjutnya kami menyampaikan bahwa apabila kami
menerima bantahan tentang tahdid (pembatasan) dalam mahfum adad—yaitu
khuruj 3 hari, 40 hari, 4 bulan, dsb—ini sebagai pembatasan waktu, maka siapakah
diantara alim ulama muktabar yang mengatakan bahwa pembatasan waktu untuk
melakukan kewajiban-kewajiban syar’i itu adalah bid’ah sehingga harus
ditinggalkan? Berikut ini adalah dalil yang terdapat di dalam hadits shahih
Bukhari, kitab ilmu, Bab : Nabi y memelihara
(waktu) kepada mereka untuk memberi mau’izhah dan ilmu agar mereka tidak
bubar.”
Ibnu
Mas’ud a, meriwayatkan, “Nabi y mengatur (waktu)
untuk kami dalam memberi nasehat di (sela) hari-harinya untuk menghindari
kejenuhan terhadap kami.”
(Mutafaqqun ‘alaih)
Ibnu
hajar t menulis, “Ungkapan; bahwa Nabi y At-Takhawul berarti
memelihara waktu untuk mereka, Al mau’izhah berarti nasehat dan
peringatan, lafadz al ilmu diathafkan kepada lafadz Al Mau’izhah sehingga
termasuk dalam bab ‘Mengikutkan lafazh yang umum kepada yang khusus’, karena Al
ilmu mengandung Mau’izhah dan yang lainnya. Diathafkan demikian,
karena Mau’izhah terdapat dalam nash hadits dan lafazh al ilmu
disebutkan sebagai dasar pengambilan hukum.”[9]
Perhatikanlah
pendapat Imam hafizh Ibnu hajar t diatas, bahwa Al Mau’izhah adalah nasehat dan
peringatan. Dan kita ketahui bahwa tidak ada aktivitas dakwah kecuali berupa
nasehat dan peringatan terhadap manusia tentang ajaran-ajaran agama mereka.
Lalu
apakah nasehat dan peringatan termasuk dalam aktivitas dakwah atau tidak ?
Bagaimana Nabi y memelihara waktu untuk mereka dalam waktu
tertentu dan terbatas, sehingga mereka tidak jenuh apabila dilakukan
sehari-hari. Dan perhatikalanlah, ucapan hafizh Ibnu Hajar, bahwa lafazh Al
ilmu diikutkan kepada lafazh Al Mau’izhah, termasuk dalam bab
‘Menngikutkan lafazh umum kepada yang khusus’, karena al ilmu mengandung
mau’izhah dan yang lainnya.
Dalil
imam Bukhari dengan judul hadits diatas tentang penentuan waktu, tidak
dikhususkan pada mau’izhah saja. Lafazh al ilmu bermakna umum, maka
keumuman lafazh al ilmu ini memuat semua cabangnya, seperti fiqih, hadits,
tafsir, dakwah, ushul, fiqih, nahwu, ulumul lughah, ulumul quran dan lainya
masih banyak. Dan dalam mendengar dan mempelajari semua cabang ilmu tersebut,
diperbolehkan mengadakan pembatasan dan penetuan waktu, baik berupa harian,
mingguan, bulanan, atau tahunan, sebagaimana yang sudah berjalan di setiap
perguruan tinggi islam yang tersebar di seluruh penjuru dunia islam.
Mereka
membatasi 4 atau 5 tahun untuk strata satu (S1), 4 tahun untuk mempelajari
berbagai cabang ilmu lainnya, ada yang lebih dari 5 tahun dan ada yang kurang
dari itu, bergantung pada aturan yang berlaku di masing-masing perguruan. Dan
seluruh umat sepakat, bahwa hal tersebut adalah baik, bahkan mereka
berlomba-lomba untuk menambah daurah ilmu tertentu dan mendukung sistem
pengaturan tersebut.
Belum
ada seorangpun, –sejak didirikannya sistem tersebut hingga sekarang ini–, yang
mengklaim bahwa hal tersebut adalah bid’ah atau sesuatu yang tidak pernah
dilakukan oleh Nabi y dan para sahabat gdengan
membatasi 4 tahun untuk mempelajari hadits, dakwah, ushul fikih, fiqih, dan
lain-lain. Seandainya ada seseorang yang mengatakan hal itu bid’ah, tentu orang-orang
akan menertawakannya.
Demikianlah
para anggota jama’ah Tabligh pun tidak membatasi 3 hari dalam setiap bulan,
kecuali untuk menjaga rutinitas dakwah yang sesuai dengan masa, tempat, dan
kondisi mereka sekarang ini. Mereka berusaha mengikuti metode Nabi y dalam menggunakan waktu yang
mendukung untuk menasehati dan meningkatkan diri mereka dan manusia. Mereka
tidak membatasi bahwa waktu-waktu tersebut adalah yang dilakukan oleh Nabi y, karena masalah ini sangat
luas yang dapat diatur sesuai dengan kondisi dan siatuasi masing-masing
individu, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh imam ibnu hajar al atsqalani rahimahullah.[10]
Sahabat membatasi waktu
Apakah
pembatasan waktu tidak pernah dilakukan oleh sahabat ? Mari kita simak penjelasan
berikut.
Terdapat
beberapa keterangan bahwa para sahabat pun mengadakan pembatasan waktu dalam
hal-hal tertentu.
Para imam hadits, diataranya imam Bukhari
telah membuat judul dalam kitab shahihnya, bab : “Seorang Ahli Ilmu Agama yang
menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi mau’izhah/ceramah.” Di dalamnya
terdapat hadits dari abi wail, ia berkata, “Dulu Abdullah bin mas’ud memberi
ceramah untuk orang-orang setiap hari kamis.”
Lalu seorang laki-laki berkata,
Ya aba Abdurrahman, sungguh senang hatiku apabila engkau memberi ceramah kepada
kami setiap hari.” Jawabnya: tidak, aku dilarang berbuat demikian, sungguh aku benci,
bila aku membuat kalian bosan. Dan sesungguhnya aku menjaga dan memelihara
waktu kalian dalam memberi mauizhah/ceramah, sebagaimana Nabi r menjaga dan memelihara waktu
kami dalam menasehati untuk menghindari kebosanan kami”. [11]
Di
dalam hadits ini terdapat pengkhususan hari kamis dari setiap minggu untuk
memberi nasehat dan (meningkatkan) iman. Di dalam hadits ini juga terdapat
pembolehan atas pembatasan dan penentuan waktu dalam rangka menasihati umat.
Dan untuk mengerjakan semua cabang ilmu, seperti : fiqih, hadits, ilmu dakwah,
tafsir, dan lain-lainnya, boleh dikiaskan kepadanya, baik waktu yang dibatasi
sehari, dua hari atau tiga hari.
Apabila
kita mengenalisa judul bab atas hadits tersebut, sesungguhnya ilmu yang
disebutkan dalam judul hadits tersebut adalah umum, bermacam-macam dan
bercabang-cabang, memuat semua cabang ilmu, seperti fiqih, hadits, tafsir,
bahasam bayan, balaghah, dakwah, ulumul quran, usuhul fiqih, mauizhah dan lain
sebagainya. Dan semua cabang ilmu itu sebagai obyek pembahasan judul hadits.
Hal ini bermakna, boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk semua cabang
ilmu tersebut.
Oleh
sebab itu, setiap ahli ilmu membatasi waktu-waktu tertentu untuk murid-muridnya
dalam mempelajari ilmu fiqih, baik sehari dalam seminggu, sehingga dalam
sebulan bertjumlah 4 hari, atau dua hari dalam seminggu, sehingga sebulan
menjadi delapan hari, atau lebih banyak atau lebih sedikit dari waktu –waktu
tersebut. Ternyata tidak itu saja, sekarang pun seseorang dapat membatasi
dengan mengkhususkan hari-hari tertentu baik itu hari jumat, sabtu, ahad, atau
hari-hari lainnya. Dan itu juga dapat membatasi dan mengkhususkan waktu yang
akan digunakan, misalnya: antara maghrib dan isya, atau setelah isya, atau
setelah ashar, dan sebagainya. Apakah semua itu termasuk sunah atau bid’ah ?
Kami jawab dengan tegas bahwa
semua itu termasuk sunah, tanpa ada keraguan sedikitpun didalamnya, sebab hal
tersebut telah dilakukan oleh Nabi y
dan para sahabat,
para tabiin, dan para imam, alim ulama mujtahidin pada abad ke III, dan juga
oleh orang-orang yang mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mempelajari ilmu
yang mereka khususkan.
Dan apabila kami memberi judul,
misalnya ; “Seorang ahli hadits menjadikan hari-hari tertentu untuk memberi
pelajarannya”. Apakah ada yang menetang judul ini ? Apakah ada yang menuduhnya
bid’ah ?
Dapat dibayangkan, apabila ada
seorang ulama berkata kepada masyarakat ; ”Wahai manusia, aku akan mengajarkan
ilmu tafsir, insyaallah dalam minggu-minggu ini.” Lalu orang-orang yang hadir
bertanya ; “Waktunya kapan ya ustadz, agar kami bisa menghadirinya?”
Kemudian ulama tadi menjawab,
“Tidak, kami tidak membatasi waktu tertentu, karena ini bid’ah. Namun datanglah
kalian dalam minggu-minggu ini, dengan izin Allahlpelajaran dan ceramah akan dimulai.”
Kemudian mereka datang pada
hari sabtu, namun syeikh yang mulia tidak datang. Mereka pun berkata di dalam
hatinya, “Syaikh yang alim tidak datang.”
Syaikh tidak menentukan waktu
belajarnya (karena beliau anggap membatasi waktu tertentu adalah bid’ah). Dan sebaliknya
ia datng pada hari yang mereka tidak datang. Misalnya hari Jumat, maka ia tentu
tidak dapat menemukan mereka. Syaikhpun berkata dalam hatinya, “Mereka itdak
menyukai ilmu dan tidak menghendaki pelajaran”. Syaikh mencela masyarakatnya,
dan masyarakatnya pun berbalik mencelanya.
Kemudian syaikh berkata lagi,
“kalau begitu datanglah lagi dalam minggu-minggu ini untuk mendengarkan
pelajaran”. Lalu mereka bertanya, “Hari apa ya ustadz?”
Syaikh menjawab, “Kami tidak
menentukan hari karena hal itu adalah bid’ah, tetapi kalian datang saja.”
Mereka meminta kepastian dan berkata” Jangan demikian, kami telah banyak
kehilangan waktu, tentukanlah waktunya atau pelajaran tidak usah diadakan.”
Perbincangan
itu tidak akan berakhir, kecuali jika syaikh bersedia menetukan waktu khusus
untuk mereka, agar pelajaran bagi mereka dapat terlaksanakan.
Apabila
ditanya, apakah mengkhususkan waktu-waktu untuk mempelajari dakwah dan
menyebarkannya kepada umat, sunah atau bid’ah? Insyaallah akan dijawab tanpa
keraguan didalamnya, Yaitu Sunnah. Bahkan dakwah itu sebagai kewajiban dan
pengkhususan waktu untuk mempelajari dan menyebarkan dakwah Nabi r
itu dilakukan oleh sahabat g sebagaimana disebutkan shahih
bukhari.
Sesungguhnya
para sahabat pun menentukan waktu untuk mencapai tujuan-tujuan syariat. Dan
dakwah tidak berbeda dengan judul-judul yang disebutkan, seperti ilmu fiqih,
hadits, tafsir, mau’izhah, dan lain-lain. Sebagaimana pengkhususan waktu untuk
mempelajari dan menyebarkan cabang-cabang ilmu tersebut adalah sunnah—bukan
bid’ah–, maka demikian pula dakwah, karena semuanya memiliki satu tujuan umum,
yaitu mempelajari ilmu dan menyebarkannya.
Imam
Bukhari menetapkan bahwa penetapan waktu ini adalah jaiz (boleh), karena tanpa
mengadakan demikian, maka dapat mendatangkan kesulitan. Padahal menuntut ilmu
hukumnya wajib, tidak boleh ditinggalkan.
Imam
al Kasymiri, dalam menjelaskan judul hadits ini, berkata: “Dia (imam Bukhari)
memaksudkan penentuan waktu seperti itu tidak disebut bid’ah.”[12]
Penyusun
kitab “kewajiban mengajak kepada kitab dan sunnah” berkata “Aku bertanya kepada
syaikh zainul abidin, “Apa pendapat kalian tentang khuruj 4 bulan dan 40 hari
dalam setiap tahun ? Dan apa dalilnya? Beliau menjawab, “Hal ini
sekedar untuk tertib (memudahkan pelaksanaan).”[13]
Pertanyaan : Apa hukum khuruj atau bepergian untuk
berdakwah yang dilakukan oleh kelompok Jamaah Tabligh? Apakah perbuatan itu
termasuk bid'ah ?
Jawaban oleh Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah
Muhammad :
Khuruj yang dilakukan oleh Jamaah
Tabligh adalah perbuatan yang boleh dilakukan bagi orang yang mampu untuk
berdakwah dengan sikap lembut, penuh hikmah, dan mampu memberi nasihat dengan
baik serta bersikap ramah dan sopan kepada orang-orang.
Selain
itu, orang tersebut juga harus mengetahui dengan baik apa yang dia sampaikan
kepada orang-orang, tidak menelantarkan keluarganya dan orang-orang yang
menjadi tanggung jawabnya.
Adapun penetapan masa khuruj selama 4 hari, 40 hari dan
lain sebagainya, hanyalah merupakan masalah teknis murni yang tidak ada
hubungannya dengan masalah bid'ah.
Ini selama pelakunya tidak meyakini bahwa penetapan jumlah hari itu adalah
sesuatu yang disyariatkan.
Demikianlah
pendapat jumhur ulama dan para ahli ushul fiqih, bahwa pembatasan dan
pengkhususan waktu untuk kepentingan agama tidaklah bertentangan dengan
syariat, sehingga tidak dapat dikatakan bid’ah. Wallahu a'lam
Kesimpulan
Ada ratusan bahkan ribuan gerakan/organisasi kaum muslimin yang ada
didunia dengan berbagai macam ciri dan metode dakwah masing-masing, satu
diantaranya adalah Jama’ah Tabligh. Harakah-harakah dakwah ini berkiprah dengan
amal yang nyata, yang manfaatnya pun telah dirasakan oleh kaum muslimin secara
luas. Namun memang harus diakui, tidak
ada satu pun dari gerakan (harakah) atau organisasi tersebut yang luput dari
kesalahan dan kekurangan.
Keluar (khuruj) ala Jama’ah Tablig, tetaplah hanya sebuah metode, yang
ada keunggulan di dalamnya namun juga ada kekurangan-keruangannya. Sebagaimana
hal itu juga terjadi pada metode dakwah Ikhwan, Hizbut Tahrir, NU, Muhammadiyah
dll. Kadang sebagian karkun (sebutan
untuk anggota JT) terkesan over dalam menyampaikan dakwah sehingga terkesan
memaksa, sok, dan mengada-ada. Atau kasus lainnya, ada beberapa diantaranya
yang ‘berfatwa’ keliru tentang beberapa hukum syari’ah. Hal ini sebenarnya bisa
dimaklumi tidak begitu menjadi masalah
bila yang dihadapi adalah orang yang telah paham siapa jama’ah ini, semua
paham, sebagian besar karkun adalah
berlatar belakang dari masyarakat awam yang masih dalam proses pencarian. Tetapi hal ini benar-benar menjadi
masalah bila terjadinya di komunitas masyarakat yang kebanyakan awam. Hal
sepatutnya menjadi perhatian serius Jama’ah ini, agar menghimbau para anggotanya untuk lebih giat mendalami
ilmu syariat sebagai bekal dakwah yang dilakoni.
Namun sebenarnya, kekeliruan-kekeliruan sebagian karkun ini sangat manusiawi, lebih kepada personnya bukan tandzim (tata aturan) jama’ahnya. Dan
tidak perlu hal ini disikapi secara
apatis, skeptis dan sinis. Sebagai muslim,kita diwajibkan oleh
Allah l
untuk selalu berhusnudzan
kepada sesama muslim dan bila kita menepukan adanya penyimpangan
dari sebagian saudara kita, hendaknya kita luruskan dengan cara yang arif. Sikap
lembut dan kehati-hatian seseorang untuk tidak terjebak kepada sikap mudah menyalahkan
menunjukkan kehanifan dalam beragama. Kita kadang sedih melihat sebagian
saudara kita yang demikian mudah menvonis saudaranya yang lain sebagai golongan
sesat. Tanpa didasari hujjah dan alasan yang kuat, bahkan terkadang hanya
karena disebabkan hal sepele dan alasan yang sangat dibuat-buat.
Apakah mereka ini tidak takut peringatan Rasulullah y : “Jika
seseorang mengatakan kepada saudaranya (sesama muslim) “hai kafir” maka
tudingan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR.Bukhari)
Semua fitnah, tuduhan,
tudingan, caci maki, gunjingan dan silap lidah justru akan menggembirakan
syaitan, sudah saatnya dihentikan. Diganti dengan salam perdamaian, duduk
bersama, saling sayang, saling isi, saling bantu, saling dukung dan saling
bekerjasama erat.
Bagaimana
mungkin seseorang akan begitu mudah menjatuhkan vonis sesat/kafir kepada
saudaranya yang lain padahal informasi yang masuk tidak berimbang, tidak sesuai
kenyataan dilapangan, bahkan lebih berupa sebuah fitnah ?
Dan boleh jadi
pula, suatu kelompok yang tadinya tergelincir dari kebenaran, suatu ketika
mereka melakukan perbaikan. Sehingga apa yang kita tudingkan kepada mereka
sudah tidak ada lagi. Lalu apakah kita tidak ikhlas kalau ada orang yang
memperbaiki diri ?
Alangkah
indahnya sebelum melontarkan sebuah tuduhan kepada sesama muslim, kita terlebih
dahulu menziarahinya serta bermunaqasyah (diskusi) secara kepala dingin. Agar
komplain kita ada sikap saudara kita itu tersampaikan terlebih dahulu kepada
yang langsung berurusan.
Mungkin saja
suatu kelompok atau jamaah punya satu dua kesalahan. Dan hal itu tentu sangat
manusiawi. Tapi kurang bijak rasanya bila setiap kesalahan saudara kita selalu
kita sikapi dengan tuduhan sesat, caci maki atau pengumbaran aib mereka di
masyarakat umum dan media. Seolah kita
bergembira kalau ada saudara kita yang salah jalan. Karena bisa kita jadikan
bahan pergunjingan dan cemoohan. Nauzubillahi min zalik
Semoga Allah
memberikan kepahaman kepada kita. Amin.
[1]
Lihat nazhrah ilmiyah fi
ahli Tabligh wad dakwah: juz 1hal. 41-42.
[2]
Lihat dalam buku kami ; Meluruskan pemahaman bid’ah
[3]
Nuzhatul Muttaqin:1/33
[4]
Shahih
Bukhari:VII/83, Musnad imam ahmad:II/341.
[5]
Dalilul
Falihin:III/163-164.
[6]
Sawanih syaikh Muhammad
umar palanpuri: II/87.
[7]
Nuzhatul Muttaqin:1/568.
[8]
Nazhrah ilmiah fi ahli
Tabligh wad dakwah:1/45-59.
[9]
Fathul bari:I/195.
[10]
Nazhrah ilmiah fi ahli
Tabligh wad dakwah:I/60-65.
[11]
Shahih Bukhari : I/27.
[12]
Faidhil Bari, syarah
shahih bukhari hal 170.
[13]
Nazhrah ilmiah fi ahli
Tabligh wad dakwah:1/67-75.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments
Posting Komentar