بسم الله الرحمن الرحيم
PENJELASAN SALAFUNAS SHALIH
TENTANG BID’AH
Berikut adalah
pandangan-pandangan beberapa ulama salaf yang diakui dunia Islam tentang
ketaqwan dan keilmuan mereka tentang masalah Bid’ah.
Al-Imam asy-Syafi’I
Sumbangan besar al-Imam asy-Syafi`i RA dalam ilmu
Usul Fiqih ialah pembagian beliau terhadap makna ‘perkara baru’ (Bid‘ah)
menjadi dua hal pokok, bid’ah hasanah dan sayyiah.
Pendapat beliau ini diriwayatkan secara shahih dari
dua murid beliau yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau, yaitu ulama
pakar Hadits Mesir yang bernam Harmala bin Yahya at-Tujaybi dan ar-Rabi` bin
Sulaiman al-Muradi.
Harmala berkata, “Aku mendengar al-Imam asy-Syafi’i
RA berkata: “Bid‘ah itu ada dua macam: Bid‘ah yang terpuji (bid‘ah mahmudah)
dan bid‘ah tercela (bid‘ah madzmumah).
Apa yang sesuai dengan Sunnah itu terpuji dan apa yang bertentangan itu
tercela.”[1]
Sedangkan ar-Rabi` juga meriwayatkan dari al-Imam asy-Shafi`i bahwa beliau berkata:
“Perkara baharu yang diada-adakan itu ada dua macam: Pertama, perkara baru yang
bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, atsar Sahabat atau ijma’ ulama’, maka
bid‘ah itu adalah sesat (fa hadhihil-bid‘atu dalalatun). Kedua, perkara
baru yang diadakan dari segala kebaikan (ma uhditsa min al-khair) yang
tidak bertentangan dengan hal yang disebutkan, yang ini bukan bid‘ah dicela (wa
hadhihi muhdatsatun ghairu madzmumah).[2]
Dalam menjelaskan perkataan as-Syafi’i tersebut,
al-Imam al-Haitami, al-Qadhi Abu Bakr Ibnu al-`Arabi dan al-Imam al-Laknawi
berkata: “Bid‘ah dipandang dari segi Syari‘at ialah segala perkara baru yang
diadakan dan bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, baik berdasarkan
dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum. Maka, hanya Bid‘ah yang
menyalahi Sunnah saja yang tercela”.[3]
Mereka menyimpulkan dan berkata: “Maka sangat
keliru bila perkara baru dipandang Bid’ah hanya semata-mata kerana ia ‘perkara
baru’. Kebid’ahan perkara baru itu ditentukan
dengan dalil-dalil syar’i.
Al-Imam al-Baihaqi
Al-imam al-Baihaqi menjelaskan panjang lebar
tentang masalah bid’ah, diantaranya beliau berkata: "Begitu juga dalam hal
penjelasan aqidah, hal tersebut adalah
bid‘ah, karena ilmu aqidah adalah menjabarkan beberapa kaidah kepada
orang awam yang tidak dikenal sebelumnya (pada zaman Nabi dan sahabat). Namun
demikian, hal itu adalah perkara baru yang terpuji (mahmudah) karena ia
bertujuan untuk membantah kepalsuan
Bid‘ah ahli falsafah kala itu.”
Beliau juga
berkata: “Rasulullah SAW ditanya tentang Qadha’ dan Qadar dan jawabannya adalah
sebagaimana yang kita dengar sampai hari ini. Pada masa itu, para Sahabat sudah
berpuas hati dengan jawaban yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Namun pada
zaman kita ini, banyak ahli Bid’ah yang menyatakan tidak puas dengan jawaban
Rasulullah tersebut sehingga mereka tidak mau menerimanya. Nah, untuk menangkis
serangan (untuk menolak beberapa ketentuan akidah) yang mereka sebarkan kepada
kaum muslimin, kita perlu berhujjah dengan menggunakan kaidah pembuktian yang
bisa diterima oleh mereka. Dan sesungguhnya usaha ini, meskipun Bid’ah (baru),
datangnya dari Allah juga."[4]
Ini merupakan pembelaan al-Imam al-Baihaqi secara
terang-terangan terhadap keperluan ilmu kalam (falsafah ketuhanan) dan sifatnya
yang sejalan dengan tuntutan Sunnah, demi untuk mempertahankan ajaran Islam
dari pelaku Bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga bisah dilihat di kalangan
para Imam besar seperti Ibnu `Asakir, Ibnus-Shalah, an-Nawawi, Ibnus-Subki, Ibn
`Abidin dan lainnya.
Al-Qadhi Abu Bakar
Ibnnul-‘Arabi al-Maliki.
Beliau berkata ketika mengulas masalah bid’ah: “Ketahuilah bahawa Bid‘ah
(al-muhdatsah) itu ada dua macam: Pertama, setiap perkara baru yang diadakan
yang tidak memiliki landasan agama, melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati,
ini adalah Bid’ah yang sesat. Kedua, perkara baru yang diadakan namun sejalan
dengan apa yang sudah disepakati, seperti yang dilakukan oleh para
Khulafa’urrasyidin dan para Imam besar, maka hal tersebut bukanlah bid‘ah yang
keji dan tercela. Ketahuilah, sesuatu itu tidak dihukumi bid’ah hanya karena ia
baru. Allah SWT berfirman:
مَا يَأْتِيْهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ
مُحْدَثٍ إِلاَّ اسْتَمَعُوْهُ وَهُمْ يَلْعَبُوْنَ
“Tidak datang kepada mereka suatu ayat
al-Qur`an pun yang baru (muhdats) dari Tuhan mereka, melainkan mereka
men-dengarnya, sedang mereka bermain-main” (QS. al-Anbiya`: 2).
Dan
perkataan Sayyidina `Umar RA: “Alangkah bagusnya bid‘ah ini!”
Kesimpulannya,
Bid‘ah tercela hanyalah perkara baru yang bertentangan dengan Sunnah, atau
perkara baru yang diadakan dan membawa kita pada kesesatan.”[5]
Hujjatul-Islam al-Imam al-Ghazali.
Ketika
mengulas masalah penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’an, al-Imam
al-Ghazali berkata: “Hakikat bahwa ia adalah perkara baru yang diadakan
tidaklah menghalanginya untuk dilakukan. Banyak sekali perkara baru yang terpuji, seperti sembahyang Terawih
secara berjama’ah, ia adalah “Bid‘ah” yang dilakukan oleh Sayyidina`Umar RA,
tetapi dipandang sebagai Bid'ah yang baik (Bid‘ah Hasanah). Adapun Bid’ah yang
dilarang dan tercela, ialah segala hal baru yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah SAW atau yang bisa merubah Sunnah itu.[6]
Ibnu Hazm az-Zahiri
Ibn Hazm
al-Zahiri berkata: “Bid‘ah dalam agama adalah segala hal yang datang
pada kita dan tidak disebutkan didalam al-Qur'an atau Hadits Rasulullah SAW. Ia
adalah perkara yang sebagiannya memiliki
nilai pahala, sebagaimana yang diriwayatkan dari Sayyidina`Umar RA: “Alangkah
baiknya bid‘ah ini!.” Ia merujuk pada semua amalan baik yang dinyatakan oleh
nash (al-Qur’an dan Hadits) secara umum, walaupun amalan tersebut tidak ddijelaskan dalam nas secara khusus.
Namun, Di antara hal yang baru, ada yang dicela dan tidak dibolehkan apabila
ada dalil-dalil yang melarangnya.[7]
Ibnul-Jauzi.
Ibnu
Jauzi menyatakan hal yang sama dalam kitabnya, Talbis Iblis. Beliau berkata:
“Ada banyak perkara baru (muhdats) yang diamalkan orang dan tidak
berlawanan dengan Syari‘at. Ulama mereka salaf menganggap bahwa hal tersebut
tidak mengapa untuk diamalkan.”
Ibnul-Atsir al-Jazari
Pakar
kamus bahasa Arab, Ibnul-Atsir menyebut di dalam kitabnya, an-Nihayah fi
Gharib al-Hadits wal-Atsar:
"Bid‘ah
itu ada dua macam: Bid‘ah petunjuk (bid‘atu huda) dan bid‘ah yang sesat
(bid`atu dalalah). Segala hal yang menyalahi perintah Allah dan
Rasul-Nya adalah terkutuk dan dipersalahkan. Dan segala hal yang masuk dalam
keumuman ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintahkan atau anjuran,
adalah hal yang dipuji. Rasulullah SAW telah menyebutkan bahwa amalan seperti
itu diberi pahala. Beliau bersabda: ‘Barang siapa memulai suatu amalan yang
baik dalam Islam, maka ia memperoleh pahalanya dan paha orang-orang yang
mengikutinya’. Begitu juga sebaliknya, Rasulullah SAW bersabda: ‘Barang siapa yang memulai amalan buruk dalam
Islam, maka ia memikul dosanya dan dosa orang lain yang mengikutinya.’[8]
Dengan demikian, Hadits yang menyebutkan “setiap yang baharu itu sesat”[9]
hendaknya disimpulkan dengan “segala hal
baru yang bertentangan dengan asas-asas Syari‘at dan menyalahi Sunnah.[10]
Al-Imam al-Izz Ibnu Abdissalam.
Syaikhul
Islam Sulthanul-Ulama' al-Imam al-`Izz Ibnu Abdissalam juga menjelaskan tentang
masalah bid’ah, beliau berkata: “Di sana ada beberapa macam perkara baru
(Bid‘ah). Pertama, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at
menyatakannya sebagai hal terpuji, bahkan ada yang dinyatakan wajib. Kedua,
perkara yang tidak dilakukan dalam Islam namun syari‘at membenci dan mengharamkannya.
Ketiga, perkara yang tidak dilakukan dalam Islam dan syari‘at
membolehkannya.”[11]
Dalam
kesempatan lain beliau menyebutkan bahwa Bid‘ah itu ada lima macam, sama dengan
lima hukum yang simpulkan oleh ulama fiqih untuk hal perbuatan manusi, yaitu
wajib, haram, sunnah (mandub), kakruh dan mubah (boleh).[12]
Al-Imam
An-Nawawi
Al-Imam
al-Muhaddits al-Hafizh Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi berkata: Bid‘ah
-menurut syari‘at- adalah segala sesuatu yang tidak pernah ada pada zaman
Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi menjadi dua, baik dan buruk.”
Beliau
melanjutkan: “Para pemuka umat dan Imam kaum muslimin yang ilmunya sudah
diakui, seperti Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdissalam menyebut di akhir buku
beliau, al-Qawa`id (al-Kubra): “Bid‘ah itu terbagi pada perkara-perkara wajib
(wajibat), haram (muharramat), sunnah (mandubat), makruh (makruhat) dan boleh
(mubahat). Seharusnya, cara menilai suatu Bid‘ah itu dengan melihat kaidah
syari’at (qawa‘id syari‘ah). Jika ia masuk dalam kategori kewajiban
(ijab) maka jadilah ia Wajib, jika ia termasuk dalam keharaman maka jadilah ia
Haram, jika ia termasuk hal yang mendatangkan keutamaan, maka jadilah ia
disukai, apabila ia termasuk hal yang buruk maka jadilah ia makruh dan
seterusnya. Selebihnya adalah bid’ah yang boleh.”[13]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani
Beliau
berkata: “Kalimat ‘bid‘ah’ itu berarti sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh
sebelumnya. Lalu kalimat itu digunakan dalam istilah Syari‘at sebagai lawan
dari Sunnah, dan karena itulah iapun
menjadi tercela. Namun, jika diteliti (ternyata tidak mesti seperti itu),
sekiranya hal baru tersebut termasuk hal yang digalakkan oleh Syari‘at maka ia
adalah Bid‘ah yang baik (Bid‘ah Hasanah), jika ia termasuk hal yang dibenci
maka ia adalah Bid‘ah buruk (mustaqbahah). Selain dari itu adalah Bid’ah yang
boleh (mubah). Bid’ah juga bisa dibagi menjadi lima kategori.”[14]
Al-Imam asy-Syaukani
Beliau menyatakan -di dalam kitabnya yang terkenal,
Nail al-Authar- bahwa Bid‘ah terbagi menjadi “baik” dan “buruk”. Menurut
beliau, pandangan seperti inilah yang paling kukuh dan kuat.[15]
Al-Imam al-Hafizh Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi
Ketika
mengomentara pendapat al-Imam asy-Syafi’i, al-Qurthubi berkata: “Menanggapi
ucapan ini (ucapan asy-Syafi’i tentang pembagian bid’ah), saya katakan bahwa
makna Hadits Nabi SAW yang berbunyi ‘Seburuk-buruk perkara adalah hal yg
baru, semua hal yang baru adalah Bid’ah, dan semua Bid’ah adalah sesat’
bermaksud hal-hal yang tidak sejalan dengan al-Qur’an, Sunnah Rasul SAW dan
perbuatan Sahabat Rasul. Sesungguhnya hal ini telah diperjelas oleh
Hadits lainnya, yaitu “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam
islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang
buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya.”[16]
Hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai terbaginya Bid’ah pada Bid’ah
yang baik dan Bid’ah yang sesat”.[17]
Al-Imam
as-Suyuthi
Al-Hafizh
al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi berkata: “Hadits ‘Bid’ah
Dhalalah’ ini bermakna ‘Aammun makhsush’ (sesuatu yang umum yang ada
pengecualiannya), sama dengan firman Allah:
تُدَمِّرُ
كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا
“.. yang menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya..”
(QS. Al-Ahqaf : 25), padahal tidak semua dihancurkannya. Sama juga dengan ayat:
وَلكَنْ
حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّيْ لأَمْلَئَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
أَجْمَعِيْنَ
“Sungguh telah kupastikan ketentuanku
untuk memenuhi jahannam dengan jin dan manusia semuanya.” (QS As-Sajdah :
13) (padahal kenyataannya tidak semua manusia masuk neraka. Ayat ini bukan
bermakna semua jin dan manusia, melainkan hanya yang musyrik dan zhaim dari
mereka). Sama juga dengan Hadits: “Aku dan hari Qiamat bagaikan kedua jari
ini”, Padahal Qiamat masih ribuan tahun lagi.[18]
Pendapat Jumhur (Kebanyakan) Ulama’ Madzhab
Ulama
dari empat madzhab telah sepakat dengan klasifikasi Bid’ah terbagi pada lima
hukum seperti yang dikemukakan oleh al-Imam al-Izz bin Abdissalam, seperti yang
telah kami sebutkan sebelumnya. Berikut diantara Ulama dari empat madzhab yang
berpendapat demikian:
2.
Dari madzhab Maliki: at-Turtusyi, Ibnul-Hajj, al-Qarafi
dan az-Zurqani. Tidak termasuk asy-Syathibi.[20]
Pendapat asy-Syathibi inilah yang kemudian diangkat oleh Rasyid Ridha,
Salim Hilali dan Muhammad Abdussalam Khadir asy-Syuqairi (murid Rasyid Ridha).
Asy-Syuqairi menulis buku berjudul as-Sunan wal-Mubtada`at al-Muta`alliqah
bil-Adzkar wash-Shalawat yang di penuhi dengan berbagai riwayat tidak
shahih.
4.
Dari madzab Hanbali: Generasi salaf telah sepakat
dengan pendapat asy-Syafi’i. Kemudian dari kalangan muta’akhirin mencoba
mengingkarinya dengan mengatakan bahwa pembagian syafi’i dan Izzudin terhadap
bid’ah adalah dari segi bahasa.[22]
Dan pembagian bid’ah menurut bahasa adalah pendekatan yang sering dibawakan
oleh golongan anti Bid’ah Hasanah untuk mendukung pendapat mereka. Mereka tetap
bersikukuh bahwa semua “Bid’ah” (termasuk Bid’ah Hasanah) adalah sesat,
meskipun pendapat itu bertentangan dengan realitas dan pendapat jumhur ulama.
Pendapat
asy-Syafi’i juga didukung oleh al-Imam as-Suyuthi, sebagaimana yang beliau
tulis dalam risalah yang berjudul “Husnul Maqashid fi ‘Amalil-Maulid” dan
“Al-Mashabih fi Shalatit-Tarawih. Didukung pula oleh al-Imam Az-Zarqani seperti
yang beliau tulis dalam kitab “Syarah al-Muwattha’, Didukung pula oleh al-Imam
Ali al-Qari seperti yang beliau tulis dalam kitab “Syarhul-Misykah. Didukung
pula oleh al-Qusthallani seperti yang beliau tulis dalam kitab “Irsyadus-Sari
Syarah Shahih al-Bukhari”. Dan masih banyak lagi ulama yang lain.
Demikianlah
pendapat para imam besar yang telah terekam dalam berbagai kitab turats
(klasik). Masih banyak lagi yang tidak sempat terekam pendapatnya, karena
memang ketika itu penulisan kitab tidak semudah sekarang. Setidaknya, ketika
mereka diam berarti mereka setuju, karena kalau memang mereka menganggap pendapat
asy-Syafi’i sebagai kesesatan, maka tidaklah mungkin mereka diam saja tanpa menulis buku
kritikan. Pendapat asy-Syafi’i diterima oleh ulama di zaman beliau hingga ulama
berikutnya. Barulah pada abad akhir ini muncul segolongan ulama yang
menyalahkan pendapat para Imam besar hujatul-Islam tersebut, bahkan berani
menganggap pendapat mereka sesat.
Saudaraku,
Ketika kita sama-sama berguru dan berpendapat menurut guru, maka bersyukurlah
karena kita berguru pada Imam-imam besar seperti asy-Syafi’i sang perintis
madzhab, an-Nawawi sang ahli Hadits penulis Syarah Shahih Muslim, al-Ghazali
sang Hujjah penulis Ihya Ulumiddin, al-Baihaqi sang ahli dan perawi Hadits,
as-Suyuthi sang pakar berbagai disipliln Ilmu Islam, al-Asqalani sang ahli
Hadits penulis Syarah Shahih al-Bukhari, al-Qurthubi sang pakar dan penulis
kitab Tafsir, al-Qusthallani sang ahli Hadits penuli Syarah Shahih al-Bukhari
dan sebagainya.
Kalau guru-guru kita itu dianggap sesat.
Lalu siapa ulama yang bisa dibanggakan oleh umat Islam. Mereka yang dianggap
sesat itu telah mengharumkan nama Islam dengan pemikiran dan karya-karya
mereka. Coba kita tanyakan pada hati kita, seandainya kita harus memilih, siapa
yang sebaiknya tidak pernah hidup di dunia ini, apakah asy-Syafi’i dan sebagainya
atau ulama abad ini yang menganggap asy-Syafi’i sesat? Apa yang kita miliki
kalau kita mencoret nama-nama mereka dan membuang karya-karya mereka dari rak
buku kita. Apa yang tersisa dari khazanah keilmuan Islam kalau kita membuang
kitab-kitab asy-Syafi’i, Syarah Shahih Muslim (an-Nawawi) kitab Ihya’
Ulumiddin, Fathul Bari, Irsyadussari, Syarah Muwattha’ (az-Zarqani),
Syarhul-Misykah dan sebagainya. Kalau mereka dianggap sesat dan karya-karya
mereka dicekal, maka yang tersisa dari kekayaan umat Islam adalah ulama pencaci
maki dan buku-buku yang dipenuhi dengan mengupat ulama salaf.”[23]
Syekh Abdurrahman bin
Mahdi berkata: "Seorang ulama tidaklah bisa disebut Imam (rujukan) dalam
sebuah disiplin ilmu, apabila ia masih mengikuti pendapat yang ganjil
(menyalahi pendapat yang lebih masyhur di kalangan Imam-imam besar)."
[1] Abu Nu’aim
dalam “Hilyat al-Awliya'”, IX : 121, Abu Shama dalam “al-Ba`its `ala Inkar
al-Bida` wal-Hawadits”, hal. 93, Ibn Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam”,
hal. 267, Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253, al-Turtusyi dalam
“al-Hawadits wal-Bida`, hal. 158-159, dan asy-Syaukani dalam “al-Qaul al-Mufid
fi Adillat al-Ijtihad wat-Taqlid, hal. 36. Riwayat dari Saidina `Umar disebut
oleh Imam Malik dalam al-Muwattha' dan al-Bukhari dalam Sahih al-Bukhari
[2] Diriwayatkan
dari al-Rabi` oleh al-Bayhaqi didalam “al-Madkhal” dan “Manaqib asy-Syafi`i, I
: 469 dengan sanad shahih dan dishahihkan juga oleh Ibnu Taimiyyah dalam “Dar'u
Ta`arud al-`Aqli wan-Naqli, hal. 171 dan melalui al-Baihaqi oleh Ibn `Asakir
dalam “Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 97. Dinukilkan oleh adz-Dzahabi dalam
“Siyar”, VIII : 408, Ibnu Rajab dalam “Jami` al-`Ulum wal-Hikam, II : 52-53,
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Al-Haitami,
“at-Tabyin fi Syarh al-Arba`in”, hal. 32, Ibnul-`Arabi, “`Aridat al-Ahwadzi, X
: 147.
[4] Al-Baihaqi,
“Manaqib asy-Shafi`i”, I : 469.
[5] Ibnul-`Arabi,
“`Arid at al-Ahwadzi”, X : 146-147.
[6] Al-Ghazzali,
“Ihya' `Ulumiddin, I : 276.
[7] Ibnu Hazm,
“al-Ihkam fi Usul al-Ahkam”, I : 47.
[8]
Diriwayatkan
dari Jarir bin Abdillah al-Bajali oleh Imam Muslim, al-Tirmidzi, an-Nasa'i,
Ibnu Majah, Ahmad dan ad-Darimi. Juga diriwayatkan dengan kalimat yang mirip
dari Abu Hurairah oleh Ibnu Majah dan Ahmad, dari Abu Juhaifah oleh Ibn Majah
dan dari Hudzaifah oleh Imam Ahmad.
[9] Diriwayatkan
dari al-`Irbad bin Sariyah oleh at-Tirmidzi (Hasan Shahih), Abu Dawud, Ibnu
Majah, Ahmad, ad-Darimi, Ibn Hibban, I : 178-179, al-Hakim menyatakan shahih, I
: 95-97, adz-Dzahabi juga menyatakan Shahih dalam "al-Madkhal ila
ash-Sahih”, hal. 80-81, al-Ajurri dalam “asy-Syari`ah”, hal. 54-55, Ibnu Abi
`Asim dalam “as-Sunnah”, hal. 29, at-Thahhawi dalam “Musykil al-atsar”, II :
69, Muhammad bin Nashr al-Marwazi dalam “as-Sunnah”, hal. 26-27, al-Harits bin
Abi Usamah dalam Musnadnya, I : 197-198, ar-Ruyani dalam Musnadnya, I : 439,
Abu Nu`aim dalam “Hilyat al-Awliya'”, V : 220-221, X : 115, at-Thabarani dalam
“Musnad asy-Syamiyyin”, I : 254, I : 402, I : 446, II : 197, II : 298 dan
“al-Kabir”, XVIII : 245-257, al-Baihaqi dalam “as-Sunan al-Kubra, X : 114,
“al-Madkhal”, hal. 115-116, al-I`tiqad, hal. 229 dan “Syu`ab al-Iman, VI : 67,
al-Baghawi menyatakan Hasan dalam “Syarh as-Sunnah, I : 205, Ibnul-Atsir dalam
“Jami` al-Usul”, I : 187, I : 279, Ibnu `Asakir dalam “al-Arba`in
al-Buldaniyyah”, hal. 121, Ibnu Abdil-Barr menyatakan Shahih dalam “at-Tamhid,
XXI : 278-279 dan “Jami` Bayan al-`Ilm”, II : 924 dan lain-lain.
[10]
Ibnul-Atsir,
“an-Nihayah”, I : 79.
[11] Ibnu
Abdisalam, “al-Fatawa al-Mushiliyyah”, hal. 129.
[12] Ibnu
Abdisalam, al-Qawa`id al-Kubra, II : 337-339, an-Nawawi dalam “al-Adzkar”, hal.
237 dan “Tahdzib al-Asma' wal-Lughat”, III : 20-22, asy-Syathibi dalam
“al-I`tisham”, I : 188, al-Kirmani dalam “al-Kawakib ad-Darari”, IX : 54, Ibnu
Hajar dalam Fath al-Bari, XIII : 253-254, as-Suyuthi dalam “Mukaddimah
Husnul-Maqsid” dan dalam “al-Hawi lil-Fatawi, al-Haytami dalam Fatawa
Haditsiyah, hal. 150, Ibnu Abidin dalam “Radd al-Mukhtar”, I : 376 dan
lain-lain.
[13] An-Nawawi,
“Tahdzib al-Asma' wal-Lughat”, III : 20-22.
[14] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Fath al-Bari, V : 156-157.
[15] Asy-Syaukani,
Nailul-Authar, IV : 60.
[16]
Shahih
Muslim, Hadits no. 1017
[17] Tafsir
al-Imam al-Qurthubi, II : 87.
[18] Syarh
Assuyuthi, III : 189.
[19] Al-Kirmani,
“al-Kawakib ad-Darari Syarh Shahih al-Bukhari, IX : 54, Ibnu Abidin,
“al-Hasyiyah”, I : 376, I : 560, at-Turkmani, “al-Luma` fil-Hawadits wal-Bida`,
I : 37, at-Tahanawi, “Kassyaf Istilahat al-Funun, I : 133-135, al-Himyari,
“al-Bid`ah al-Hasanah” (hal.152-153).
[20] At-Turtushi,
“al-Hawadits wal-Bida`, hal. 15, 158-159, Ibnul-Hajj, “Madkhal asy-Syar`
asy-Syarif, II : 115, al-Qarafi, “al-Furuq”, IV : 219, asy-Syathibi,
“al-I`tisham, I : 188-191, az-Zurqani, “Syarh al-Muwattha', I : 238.
[21]
Abu
Syama, “al-Ba`its `ala Inkar al-Bida` wa al-Hawadits”, hal. 93.
[22] Ibnu Rajab,
“al-Jami` fil-`Ulum wal-Hikam”, II : 50-53.
[23] KH. Ali Badri
Azmatkhan, klarifikasi masalah khilafiyah.
0 comments
Posting Komentar