بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam
istilah ushul-fiqih, hal yang tidak dikerjakan atau tidak dicontohkan oleh
Rasulullah disebut “at-Tark”, yang secara bahasa artinya meninggalkan suatu
pekerjaan. Ulama ushul sepakat bahwa at-Tark bukan berarti larangan. Ketika
Nabi tidak mengerjakan sesuatu bukan berarti beliau tidak menganggapnya haram.
Ini adalah suatu hal yang sangat logis dan tidak harus sangat cerdas untuk memahaminya.
Sering
ada yang berkata: “Kalau memang ini baik tentu Rasulullah sudah
mengerjakannya.” Ini adalah pemahaman yang kaku. Rasulullah sudah memberi kita
dasar untuk pengembangan bentuk amaliah, sehingga beliau tidak harus memberi
terlalu banyak contoh kepada kita. Kelebihan umat Muhammad adalah kepedulian
mereka terhadap dunia keilmuan, sehingga tanpa harus diberi banyak contoh
mereka akan kreatif. Banyak hal yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah, mungkin
karena tidak sempat, tidak terfikir atau situasi tidak mendesak untuk itu.
Suatu contoh, Rasulullah SAW baru terfikir untuk puasa Asyura’ setelah melihat
orang Yahudi mengerjakannya, karena puasa adalah salah satu bentuk ibadah yang
layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah berkaitan
dengan hari Asyura’. Seandainya dari dulu orang Yahudi tidak puasa Asyura’,
bisa jadi beliau tidak berpuasa Asyura karena tidak terfikir oleh beliau untuk
itu. Atau seandainya orang Yahudi melakukan walimah untuk memperingati hari
Asyura’, bisa jadi Rasulullah juga akan memperingati hari Asyura dengan bentuk
walimah, bukan puasa, karena walimah adalah salah satu bentuk ibadah shodaqoh
yang juga layak untuk dikerjakan sebagai ungkapan rasa syukur.
Demikian
juga dengan istilah “beriman sesaat”. Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Sahabat
Anas bin Malik, bahwa Sahabat Abdullah bin Rawahah sering mengajak orang untuk
dzikir bersama dengan berkata:
تَعَالَ نُؤْمِنُ بِرَبِّنَا
سَاعَةً
“Mari kita beriman pada Tuhan kita
sesaat”
Suatu
ketika Abdullah bin Rawahah mengatakan itu pada seseorang dan orang itu
langsung marah, ia menganggap Abdullah bin Rawahah telah membuat Bid’ah dengan
kalimat “berimam sesat”, iapun mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW dengan
berkata:
يَا
رَسُوْلَ الله أَلاَ تَرَى إِلى ابْنِ رَوَاحَةَ يَرْغَبُ عَنْ إِيْمَانِكَ إِلَى
إِيْمَانِ سَاعَة
“Ya
Rasulullah, sesungguhnya Abdullah bin Rawahah telah meninggalkan iman dengan
caramu dan memilih iman sesaat.”
Maka
Rasulullah SAW berkata:
يَرْحَمُ
اللهُ ابْنَ رَوَاحَةَ إِنَّهُ يُحِبُّ الْمَجَالِسَ الَّتِيْ تُبَاهِى بِهَا الْمَلاَئِكَة
“Semoga Allah merahmati Abdullah bin Rawahah,
dia itu menyukai majlis yang dibanggakan oleh para Malaikat.”
Riwayat
lain menyatakan bahwa Sahabat Mu’adz bin Jabal juga sering mengungkapkan
kalimat itu. Sepertinya, Abdullah bin Rawahah adalah orang bertama yang
memiliki ide kalimat “beriman sesaat”. Setelah kasus pengaduan kepada
Rasulullah itu kemudian kalimat ini menjadi populer dan Mu’adz bin Jabal yang
paling sering menggunakannya.
Coba kita
perhatikan, seandainya inisiatif itu tidak muncul dari seorang Abdullah bin
Rawahah atau Mu’adz bin Jabal, mungkin tidak akan pernah ada ikrar dari
Rasulullah bahwa istilah “beriman sesaat” itu boleh digunakan.
Dari dua
riwayat itu dan riwayat lain yang senada, kita bisa menyimpulkan, bahwa
Rasulullah sudah memberikan contoh kepada kita sebagai dasar pemikiran untuk
inisiatif baik. Apalagi lagi Rasulullah pernah bersabda “Man Sanna Sunnatan
..” (Barang siapa yang mengawali suatu bentuk perbuatan baik dst). Maka
kumpulan riwayat itu menyimpulkan seolah-olah Rasulullah SAW berkata “Cerdaslah
dan kreatiflah kalian, selama ide kalian itu baik dan tidak menyalahi
Syari’at.”
0 comments
Posting Komentar