بسم الله الرحمن الرحيم
Pertanyaan
Saat ini, banyak pemuda yang bergabung dengan kelompok yang mengaku
sebagai satu-satunya kelompok yang sesuai dengan tuntunan para ulama
salaf saleh dan mengikuti jalan yang benar. Mereka juga menuduh
orang-orang yang berseberangan dengan mereka sebagai para antek asing,
orang kafir dan zindik. Hingga banyak ulama yang tidak selamat dari
tuduhan mereka. Mereka menyerang akidah para ulama Azhar dan menuduh
para ulama Asy'ari sebagai pelaku bid'ah. Selain itu, mereka juga
mewajibkan orang-orang untuk memelihara jenggot dan meninggikan ujung
celana dari mata kaki, serta menganggap doa qunut dalam salat Subuh
sebagai perbuatan bid'ah dan lain sebagainya. Apa pendapat Yang Mulia
Mufti mengenai kelompok ini dan pendapatnya tersebut?
Jawaban :
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Jawaban :
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad
Para pemuda muslim, terutama para penuntut ilmu, hendaknya berusaha
untuk menyatukan kaum muslimin, bukan sebaliknya, menyebar perpecahan
dan pertikaian di antara mereka. Allah SWT telah memerintahkan kita
untuk berpegang teguh pada tali Allah yang kuat dan tidak berselisih
dalam urusan agama. Allah berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ
اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai." (Âli 'Imrân [3]: 103).
Dan Allah berfirman,
وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ
اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
"Dan ta'atlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar." (Al-Anfâl [8]: 46).
Allah juga memerintahkan kita untuk berbicara kepada orang-orang secara baik-baik. Allah berfirman,
"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil
(yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah
kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin,
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali
sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling." (Al-Baqarah
[2]: 83).
Rasulullah saw. juga memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan
semua usaha yang dapat membawa kepada persatuan umat, hingga beliau
menyatakan bahwa senyum seorang muslim kepada saudaranya adalah sedekah.
Para pemuda juga wajib menjauhkan diri dari manhaj-manhaj
pengafiran, pembid'ahan, pemfasikan dan penyesatan yang banyak tersebar
di kalangan para penuntut ilmu di zaman ini. Mereka harus bersikap
bijak dan sopan kepada para ulama besar dan orang-orang saleh. Kelompok
manapun yang menggunakan nama "Salafus saleh" sebagai alat untuk
memecah belah kaum muslimin maka mereka telah mencampuradukkan antara
yang hak dan yang batil. Allah berfiman,
"Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui."
(Al-Baqarah [2]: 42).
Sebagaimana diketahui, akidah al-Azhar adalah akidah Asy'ariah yang
merupakan akidah kelompok Ahlussunnah wal Jamaah. Para ulama Asy'ariah
–semoga Allah meridai mereka dan membuat mereka diridai—merupakan
jumhur (mayoritas) ulama dari umat ini. Merekalah yang menjawab semua
syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para kaum atheis dan lainnya.
Mereka berpengang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
sepanjang sejarah. Barang siapa yang mengafirkan atau menfasikkan
mereka, maka orang itu patut dipertanyakan keberagamaannya.
Ibnu Asakir dalam kitabnya Tabyîn Kadzb al-Muftarî fîmâ Nusiba Ilâ
al-Imâm Abi al-Hasan al-Asy'arî berkata, "Ketahuilah –semoga Allah
memberi taufik kepadaku dan kepadamu untuk mendapatkan keridaan-Nya
serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang bertakwa kepada-Nya
dengan sebenar-benarnya— bahwa daging para ulama adalah beracun.
Sunnatullah dalam membongkar keburukan orang-orang yang melecehkan para
ulama telah diketahui bersama. Dan barang siapa yang dengan mulutnya
melecehkan mereka, maka Allah akan mematikan matian hatinya sebelum ia
meninggal dunia."
Institusi Al-Azhar asy-Syarif merupakan menara ilmu dan agama
sepanjang sejarah. Benteng kokoh ini telah membentuk sebuah lembaga
ilmiah terbesar yang pernah ada setelah masa-masa awal Islam yang
istimewa. Dengan lembaga ini Allah telah menjaga agama-Nya dari setiap
penentang dan perongrong. Oleh karena itu, orang yang mencoba
mencari-cari kesalahan dalam akidah institusi al-Azhar maka ia berada
dalam bahaya yang besar dan dikhawatirkan termasuk orang-orang sekte
Khawarij yang disinggung oleh Allah dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang
yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar
bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu
(untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di
Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar." (Al-Ahzâb [33]: 60).
Berkaitan dengan masalah jenggot, maka memeliharanya dan tidak
mencukurnya adalah diriwayatkan dari Nabi saw.. Beliau juga merapikan
dan memotong ujung-ujungnya sehingga terlihat rapi sesuai dengan bentuk
wajah dan performen tubuh. Beliau juga memperhatikan kebersihan
jenggotnya dengan mencucinya, menyela-nyelanya dan menyisirnya. Para
sahabat beliau yang hidup setelahnya pun mengikuti apa yang dilakukan
beliau tersebut.
Terdapat banyak hadis yang menganjurkan untuk memelihara jenggot dan
merawatnya dengan baik, serupa dengan hadis-hadis yang menganjurkan
untuk bersiwak, memotong kuku, kumis dan lain sebagainya. Sebagian
ulama mengartikan perintah dalam hadis-hadis ini sebagai suatu
kewajiban sehingga berpendapat bahwa mencukur jenggot adalah perbuatan
haram. Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa perintah dalam
hadis-hadis itu bukan bersifat wajib tapi hanya merupakan anjuran,
sehingga menurut mereka memelihara jenggot merupakan perbuatan sunah
yang pelakunya diberi pahala tapi orang yang meninggalkannya tidak
dikenakan hukuman.
Dalil para ulama yang mengatakan bahwa mencukur jenggot merupakan
perbuatan yang diharamkan adalah hadis-hadis yang memerintahkan untuk
memelihara jenggot agar berbeda dengan orang-orang Majusi dan kaum
musyrikin.
Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anhâ dari Rasululllah saw., beliau bersabda,
"Sepuluh hal termasuk perbuatan fitrah, yaitu memotong kumis,
memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air untuk membersihkan hidung,
memotong kuku, mencuci ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu
kemaluan dan membersihkan kemaluan dengan air setelah buang air."
Seorang perawi berkata, "Saya lupa yang kesepuluh. Kalau tidak salah ia adalah berkumur."
Sedangkan kelompok lain –yaitu para ulama Syafi'iyah— berpendapat
bahwa perintah-perintah yang berkaitan dengan kebiasaan, makan, minum,
berpakaian, duduk, penampilan dan lain sebagainya, diartikan sebagai
anjuran, karena terdapat indikasi (qarînah) --yang merubah perintah itu
dari kewajiban menjadi anjuran— tentang keterkaitan perintah-perintah
itu dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan tersebut. Para ulama ini
juga memberikan contoh dengan perintah untuk menghitamkan rambut dan
melakukan salat dengan memakai sandal dan sejenisnya. Hal ini
sebagaimana penjelasn Ibnu Hajar dalam Fath al-Bârî.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat perbedaan ulama
berkaitan dengan boleh tidaknya mencukur jenggot. Dalam kaidah fikih
dinyatakan bahwa keluar dari masalah yang diperdebatkan adalah
dianjurkan. Dan terdapat kaedah lain: barang siapa yang diuji dengan
terpaksa harus melakukan perbuatan yang diperselisihkan kebolehannya
dan dia tidak dapat menghindarinya, maka ia hendaknya mentaklid
(mengikuti) ulama yang membolehkan.
Adapun masalah meninggikan ujung celana, maka pada dasarnya hukum
memakai pakaian adalah boleh selama tidak ada niat berlebih-lebihan
atau bersikap sombong. Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin 'Amr
radhiyallahu 'anhumâ dari Nabi saw., beliau bersabda,
"Makanlah, minumlah, bersedekahlah dan berpakaianlah kalian tanpa
berlebihan dan sikap sombong." (HR. Ahmad, Nasa`i dan Ibnu Majah. Hadis
ini dishahihkan oleh Hakim).
Berdasarkan makna inilah hadis-hadis larangan isbâl (memanjangkan
celana melebihi mata kaki) ditafsirkan, seperti sabda Rasulullah saw.,
"Ujung pakaian yang berada di bawah kedua mata kaki tempatnya adalah neraka." (HR. Bukhari).
Nabi saw. juga bersabda,
"Tiga orang yang pada hari Kiamat tidak akan diajak bicara, tidak
dipandang dan tidak disucikan oleh Allah serta mendapatkan siksa yang
pedih". Rasulullah saw. mengucapkan hal itu tiga kali. Lalu Abu Dzar
berkata, "Sengsara dan merugilah mereka, siapakah mereka itu wahai
Rasulullah?" Beliau menjawab, "Orang yang memanjangkan pakaiannya
hingga di bawah mata kaki, orang yang menyebarkan adu domba dan orang
yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu". (HR Muslim).
Hadis ini diartikan sebagai ancaman terhadap orang yang melakukannya
karena sombong sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang lain,
seperti hadis Abdullah bin Umar r.a. yang diriwayatkan dalam
ash-Shahihain bahwa Nabi saw. bersabda,
"Pada hari Kiamat, Allah tidak memandang orang yang menyeret pakaiannya (yang panjang) dengan sombong."
Oleh karena itu, lafal larangan memanjangkan ujung pakaian yang
bersifat mutlak dalam hadis-hadis tersebut, harus dibatasi dengan sikap
sombong sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nawawi. Imam Syafi'i telah
menjelaskan secara tegas tentang perbedaan antara orang yang melebihkan
pakaiannya karena sombong dan yang tidak sombong.
Di dalam kitab ash-Shahîh, Imam Bukhari membuat sebuah bab dengan
judul: Bab Orang yang Menyeret Sarungnya tanpa Sikap Sombong. Dalam bab
itu beliau menyebutkan hadis Ibnu Umar r.a. bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq
r.a. berkata, "Wahai Rasulullah, salah satu sisi kain sarung saya
melorot kecuali jika saya selalu memeganginya. Maka Rasulullah saw.
bersabda,
"Kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong."
Begitu pula hadis Abi Bakrah r.a., ia berkata, "Terjadi gerhana
matahari ketika kami sedang bersama Rasulullah saw.. Lalu beliau
berjalan dengan terburu-buru ke masjid sambil menyeret kain sarungnya.
Orang-orang pun segera bangkit. Beliau kemudian melakukan salat dua
rakaat hingga gerhana tersebut hilang. Lalu beliau menghadap kepada
kami dan berkata,
"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda kekuasaan Allah.
Jika kalian melihatnya maka lakukanlah shalat dan berdoalah kepada
Allah hingga Allah menyingkapnya kembali."
Kedua hadis ini secara tegas dan jelas bahwa memanjangkan ujung
pakaian hingga di bawah mata kaki (isbâl) yang diharamkan adalah yang
dilakukan dengan maksud sombong. Jika tidak maka tidak haram karena
keberadaan sebuah hukum mengikuti keberadaan illat hukum itu.
Syariat juga telah memberikan ruang bagi tradisi dan kebiasaan
sebuah masyarakat dalam menentukan bentuk pakaian dan penampilan.
Rasulullah saw. melarang seseorang memakai pakaian yang menarik
perhatian orang yang berbeda dengan pakaian masyarakat pada umumnya.
Beliau bersabda,
"Barang siapa yang memakai pakaian yang menarik perhatian
orang-orang (karena berbeda dengan warna pakaian mereka) maka Allah
akan memakaikan pakaian kehinaan padanya pada hari Kiamat." (HR. Abu
Dawud dan Ibu Majah dari hadis abdullah bin Umar r.a. serta dihasankan
oleh al-Hafizh al-Mundziri).
Para sahabat sendiri ketika memasuki kota Persia mereka melakukan
salat dengan memakai celana orang-orang Persia. Para ulama juga
menyebutkan jika terdapat kesepakatan masyarakat untuk memanjangkan
sebagian jenis pakaian yang biasa dipakai, sehingga setiap masyakarat
memiliki ciri khas tersendiri yang diketahui oleh mereka, maka hal itu
tidak diharamkan, tapi yang diharamkan adalah yang digunakan dengan
niat menyombongkan diri.
Seorang muslim yang mencintai Sunnah hendaknya mengetahui masalah
ini, juga memahami zamannya dan dapat menerapkan Sunnah-sunnah Nabi
saw. secara baik dalam masyarakat. Sehingga, ia dapat membuat mereka
tertarik dan senang dengan Sunnah-sunnah tersebut dan tidak menimbulkan
fitnah yang membuat mereka menjauh mereka dari agama ini. Hendaknya
seorang muslim juga dapat membedakan antara Sunnah yang berasal dari
tabiat manusia, Sunnah yang berasal dari tata cara sesuai kebiasaan
atau tradisi masyarakat dan jenis Sunnah-sunnah yang lain. Ia juga
harus memperhatikan skala prioritas dalam penerapan Sunnah-sunnah
tersebut, sehingga tidak mendahulukan yang bersifat anjuran dari yang
bersifat wajib, atau lebih memperhatikan penampilan luar dengan
mengabaikan sisi batin serta interaksi dengan baik di masyarakat.
Seorang muslim juga hendaknya dapat memilih sunnah yang dapat dipahami
masyarakat sehingga tidak menjadi bumerang yang mengakibatkan
terjadinya pelecehan dan penolakan terhadap Sunnah itu sendiri. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Ali karamallahu wajhah, "Bicaralah kepada
orang-orang sesuai dengan pemahaman mereka dan tinggalkan hal-hal yang
mereka benci. Apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?" (HR.
Bukhari dan lainnya). Abdullah bin Mas'ud r.a. juga pernah berkata,
"Tidaklah kamu berbicara kepada satu kaum tentang persoalan yang tidak
mereka pahami kecuali persoalan itu dapat menjadi bencana bagi sebagian
mereka." (HR. Muslim).
Adapun membaca doa qunut dalam shalat Shubuh maka hal itu adalah
sunnah Nabi. Ini merupakan pendapat sebagian besar kalangan Salaf salih
dari para sahabat, tabi'in dan ulama-ulama setelah mereka. Dalam hadis
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu disebutkan bahwa, "Sesungguhnya Nabi
saw. membaca qunut selama satu bulan guna melaknat mereka (suku Ra'l,
Dzakwan dll), lalu beliau meninggalkannya. Sedangkan dalam shalat
Shubuh, maka beliau terus membaca qunut sampai meninggal dunia." Ini
adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh beberapa orang hufâzh dan
mereka pun menshahihkannya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi dan
lainnya. Pendapat ini diambil oleh para ulama Syafi'iyah dan Malikiyah
dalam pendapat yang masyhur. Menurut mereka, membaca qunut dalam shalat
Shubuh secara mutlak dianjurkan. Mereka menafsirkan riwayat-riwayat
mengenai penghapusan hukum (nasakh) qunut atau larangan membacanya
dengan mengatakan bahwa yang ditinggalkan adalah mendoakan suatu kaum
tertentu dengan keburukan (melaknat mereka), bukan qunut secara mutlak.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa membaca qunut pada shalat
Shubuh hanya dianjurkan ketika terjadi bencana-bencana yang menimpa
kaum muslimin. Dengan kata lain, bila tidak terjadi bencana yang
menuntut dibacanya doa qunut, maka membacanya tidak dianjurkan. Ini
adalah pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Hambali.
Dengan demikian, jika terjadi suatu bencana yang menimpa kaum
muslimin, maka tidak ada perpedaan pendapat mengenai anjuran membaca
qunut dalam shalat Shubuh. Dalm hal ini yang masih diperdebatkan adalah
membacanya dalam shalat-shalat wajib yang lain. Sebagian ulama, seperti
para ulama Mazhab Maliki, berpandangan bahwa membaca qunut ketika
terjadi bencana yang menimpa orang-orang muslim hanya terbatas pada
shalat Shubuh. Sedangkan sebagian yang lain, seperti ulama Mazhaab
Hanafi, berpendapat bahwa doa qunut dibaca dalam semua shalat jahr
(shalat yang bacaannya dibaca dengan keras). Adapun ulama Syafi'iyah,
dalam pendapat yang shahih, berpendapat bahwa qunut dibaca di seluruh
shalat-shalat wajib. Mereka mencontohkan bencana ini dengan wabah
penyakit, paceklik (kekeringan), hujan yang merusak perkampungan dan
tanaman, takut terhadap musuh dan tertangkapnya seorang ulama.
Kesimpulannya adalah bahwa perbedaan para ulama dalam masalah
membaca qunut ketika shalat Shubuh hanya terbatas pada kondisi ketika
tidak terjadi bencana. Adapun jika terjadi bencana, maka para ulama
sepakat mengenai anjuran untuk membacanya dalam shalat Shubuh,
sedangkan dalam shalat-shalat wajib lainnya maka masih diperselisihkan.
Dengan demikian, kritikan terhadap pembacaan doa qunut dalam shalat
Shubuh dengan alasan bahwa perbuatan itu tidak benar, adalah kritikan
yang salah. Hal ini bila dilihat dari kondisi umat Islam yang sedang
ditimpa dengan berbagai bencana, musibah dan wabah penyakit serta
rongrongan para musuh dari semua penjuru. Semua ini menuntut kita untuk
memperbanyak doa dan munajat kepada Allah dengan harapan semoga Allah
menjauhkan tangan-tangan jahat musuh dari kita, mengembalikan wilayah
kita yang dirampas serta membuat bahagia Nabi kita Muhammad saw. dengan
kemenangan umatnya dan kembalinya kehormatan umat ini yang terampas.
Hal ini jika kita melihat bahwa bencana tersebut terus berkelanjutan
dan tidak pernah berkesudahan.
Namun, orang yang berpendapat bahwa suatu bencana hanya terbatas
pada waktu tertentu dan tidak lebih dari satu bulan atau empat puluh
hari, maka orang tersebut tidak boleh menyalahkan orang yang membaca
qunut ketika shalat Shubuh. Karena orang yang membaca qunut ini
mengikuti pendapat salah satu imam mazhab yang diperintahkan untuk
diikuti sebagaimana disinggung dalam firman Allah SWT :
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An-Nahl [16]: 43).
Barang siapa yang mentaklid imam lain yang pendapatnya menurutnya
benar dalam masalah ini, maka dia tidak boleh mengingkari orang yang
membaca qunut. Karena, dalam kaidah fikih disebutkan: Lâ yunkaru
al-mukhtalaf fîh (Tidak boleh mengingkari persoalan yang masih
diperdebatkan). Dan kaidah lain menyatakan: Lâ yunqaqhu al-ijtihâd bil
ijtihâd (Sebuah ijtihad tidak dibatalkan dengan ijtihad lain).
Wallahu subhânahu wa ta'âlâ a'lam
0 comments
Posting Komentar