يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ
مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن
كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya) dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian lebih utama (
bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dan Rasulullah SAW bersabda: “Aku tinggalkan pada kalian sesuatu yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya maka kalian tidak akan tersesat sesudah aku (tiada) Kitabullah (Al-Qur`an) dan Sunnah-ku.”(HR. Malik)
Saudaraku, boleh tidaknya mengangkat pemimpin dari kaum wanita telah menjadi polemik yang cukup hangat akhir-akhir ini. Bukan hanya di Indonesia, di Timur Tengah pun, topik ini sudah mulai ‘diseminarkan’. Pembahasan masalah ini, Ada yang murni karena ingin semata-mata menjelaskan syariat Allah, namun tidak sedikit golongan kedua yang membahas karena kepentingan politik semata. Dan semoga pembahasan kita mengenai ‘boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin’, semata-mata karena mencari keridhaan-Nya Amin.
Dan pembahasan tentang umara’/pemimpin disini yang kita maksudkan adalah jabatan eksekutif tertinggi disuatu daerah, semisal presiden,gubernur atau bupati. Bukan jabatan selainnya. Hal ini penting kami sampaikan agar pembahasan tidak bias, dan menjaga adanya penganalogian yang salah terhadap jabatan lain untuk wanita.
SYARAT –SYARAT SEORANG PEMIMPIN
Saudaraku,
ulama salaf dan khalaf telah bersepakat tentang syarat-syarat seorang kepala
pemerintahan adalah terdiri dari tujuh syarat, yang tercantum dalam kitab-kitab
mereka, yaitu :
1. Dzu wilaayah taammah
Mempunyai syarat
kepemimpinan secara sempurna yaitu:
a. Islam
(muslim)
b. Merdeka
(bukan budak)
c. Lelaki
d. Baligh
e. Berakal sehat
2.
Al`adaalah
Pengertian sifat ‘adalah yang harus ada pada
seorang pemimpin adalah dia mengerjakan agama secara baik, benar, adil,
berakhlak mulia, memegang amanat, bersih dan menghindari perbuatan yang
diharamkan agama dan lain-lain.
3. Lahul
kifaayatul ilmiyyah
Memiliki cukup
ilmu yang bisa mengantarkannya kepada suatu ijtihad, jika terjadi permasalahan
yang mendesak sesuai dengan hukum syariat terutama di dalam urusan politik
negara.
4.
Hisaafatur ra`yi fil qadlaayas siyaasiyyah wal harbiyah wal idaariyyah
Sempurna dan
kuatnya pemeliharaan di dalam permasalahan politik, strategi peperangan dan
administrasi demi kepentingan rakyat.
4.
Shalaabatus shifaatis syakhshiyyah
Berkepribadian
tegar dan bersifat tegas,
pemberani dalam mengambil keputusan, demi menjaga keselamatan bangsa, dan
menolak penjajahan dalam segala bidang.
6.
Alkifaayatul jasadiyyah
Kesempurnaan
jiwa raga, sehat jasmani dan panca indera, sehingga tidak memerlukan perantara
dalam memahami situasi. Hal ini
penting mengingat seorang pemimpin adalah penentu kebijakan, dan amat berbahaya
sekali jika seorang pemimpin memutuskan perkara bukan berdasarkan fakta yang
diketahuinya.
7. Annasab
Seorang pemimpin haruslah berasal dari keturunan
dan keluarga yang baik. Mustahil
jiga pemimpin suatu negara diangkat dari kalangan penjahat negara apalagi
pemberontak.
Perhatikan
saudaraku, pada syarat ke-1 dan ke-3 yaitu: seorang pemimpin hendaknya seorang
muslim (bukan non muslim) dan laki-laki (bukan wanita).
Jadi seorang presiden bagi umat Islam wajib
beragama Islam, karena harus menjaga kelestarian ajaran agamanya, serta urusan
duniawi yang saling keterkaitan dengan masakah ukhrawi bagi setiap individu
muslim. Sebagaimana juga keislaman menjadi syarat sah-tidaknya persaksian
(syahaadah)-nya seseorang, semisal dalam urusan saksi pernikahan, lebih-lebih
di dalam urusan kepemimpinan umum (presiden).
Adapun syarat
presiden harus lelaki, disebabkan beban kepemimpinan negara memerlukan energi
yang sangat besar, yang mana kebanyakan wanita tidak memilikinya, atau tidak
sanggup menanggung beban tanggung jawab di dalam urusan semisal perdamaian,
peperangan, dan menangani kejadian-kejadian yang penting. Tujuan semacam ini
tidak lepas dari sabda Rasul SAW yang artinya “Selama-lamanya tidak berhasil /
beruntung, suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada wanita. (Hadits
shahih riwayat al Bukhari, Ahmad, an-Nasai, at-Tirmidzi, dari sahabat Abu
Bakrah.)
Berdasarkan
hadits ini, para ulama ahli telah berijma’, bahwa syarat kepemimpinan umum
(kepala negara / presiden) harus lelaki, (Lihat dalam kitab Al-fiqhul-islamy wa
adillatuhu, karangan Dr. Wahbah al-Zuahaily, juz 6, halaman 693, cetakan
Darul-Fikr, tentang syarat-syarat imam dengan lafadz: lidzaa ajma`al fuqahaa
`alaa kaunil imaami dzakaran.)
Kitab-kitab dan
dalil-dalil yang menguatkan ketidak-bolehan (larangan ) wanita menjadi presiden
/ kepala negara / penguasa tertinggi negara / sulthan / imam atau yang semisalnya
sangat banyak dan cukup beragam, dan ini telah menjadi pendapat jumhur ulama
dan kaum muslimin sepanjang sejarah, diantaranya adalah:
1.
Dalam kitab Kasyf al-khafa wa muzil al-ilbas, karangan
as-Syeikh Ismail al-ajluni al jarrahi, cetakan III Bairut , jus 2 hal 150-151
disebutkan : “Selama-lamanya pasti tidak akan beruntung kaum (rakyat) yang
menyerahkan kepemimpinan (negara)-nya kepada wanita.” (HR. Al Bukhari) dan
dijelaskan dalam bab al-fitan dan al-maghazi dari Abi Bakrah beliau berkata : “Sesungguhnya Allah telah memberiku faedah
(keyakinan) dan kefahaman atas perang Jamal (saat sayyidah ‘Aisyah memimpin
satu pasukan ), tentang sabda Nabi SAW diatas.”
Penjelasan
sahabat Abi Bakrah, bahwa kepemimpinan wanita tidak akan berhasil, benar-benar
terjadi sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa di dalam perang Jamal tidak
pernah sedikitpun diterangkan tentang keberhasilan kepemimpinana Sayyidah
‘Aisyah, dalam memimpin pasukannya. Isthimbath (penerapan dalil) yang dilakukan
oleh sahabat Abi Bakrah, pada saat perang Jamal menunjukkan kefahaman beliau
sebagai sahabat Nabi Muhammad SAW, bahwa hadits Abi Bakrah tersebut tidak
terbatas penggunaannya pada kejadian Putri Kisra di zaman Nabi Muhammad SAW
masih hidup, bahkan di zaman khilafah Ali bin Abi Thalib, masih relevan untuk
digunakan. Demikianlah dan seterusnya hingga kelak hari kiamat. Justru inilah
salah satu mukjizat Nabi Muhammad SAW yang wajib diyakini oleh semua orang yang
mengaku sebagai pengikut Rasulullah SAW.
2. Kitab
fiqhus-sunnah karangan Sayyid Sabiq, jilid 3, cetakan Darul fikr halaman 315.
Bab orang-orang yang memenuhi syarat jadi qadli (di Indonesia se tingkat
menteri)
3. Dalam kitab
Fath al-Bari dikatakan : Telah sepakat para ulama terhadap syarat lelaki bagi
qadli, kecuali menurut Imam Abu Hanifah. Perlu diingat khilafiyah ini terjadi
pada tingkat kementerian bukan tingkat kepala negara.
4. Kitab
Kifayatul akhyar, karangan Imam Taqyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini,
cetakan Darul Fikr, juz 2 halaman 257 yang artinya Tidak boleh menjadi qadli
kecuali telah mencukupi syaratnya yaitu islam (muslim), baligh berakal,
merdeka, adil, lelaki. Di antara syarat –syaratnya adalah lelaki, sesuai dengan
firman Allah yaitu (kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita), demikian
juga dengan sabda nabi Muhammad SAW (selama-lamanya pasti tidak akan beruntung
/ berhasil/ bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya kepada
wanita)diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan Al Hakim yang juga mengatakan para
perawinya sesuai syarat-syarat Bukhari-Muslim.
5. Kitab Subulus
salam karangan As-syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kahlani As-Shan`ani, cetakan
Dahlan Bandung, juz 4 halaman 123 : Dari abu Bakrah ra, dari Nabi SAW bersabda:
Selamanya pasti tidak akan beruntung / berhasil / bahagia kaum yang menyerahkan
pemerintahannya kepada wanita.” (HR. Bukhari)
Hadits
ini sebagai dalil ketidak-bolehan kepemimpinan wanita dalam segala hal, yang
berkaitan dengan urusan atau perkara kaum muslimin. Sekalipun oleh as-Syari’
(Allah dan Rasul-Nya) bahwa wanita itu juga diperintahkan menjadi
penanggungjawab kemaslahatan rumah tangga suaminya.
6. Kitab Fathul
Bari bi Syarhi Shahil Bukhari, karangan as-Syeikh Ibnu Hajar Al-Asqallani,
cetakan maktabah Al-kulliyatul azhariyah, Mesir juz 16 halaman 63-64, dalam
pembahasan yang panjang dengan kesimpulan sebagai berikut: Kursi singgasana
kerajaan Persi diduduki oleh Putri Kisra yang bernama Buran, sepeninggal
ayahnya. Mendengar berita ini Rasulullah saw bersabda: Selamanya / pasti tidak
akan beruntung / berhasil / bahagia kaum yang menyerahkan pemerintahannya
kepada wanita. Al-khattabi berkata: Hadits ini menerangkan bahwa wanita tidak
boleh (tak akan berhasil) menjadi pemimpin negara (presiden), maupun menjadi
qadli dan juga tidak boleh mengakadkan dirinya sendiri, dan tidak boleh jadi
wali akad (bagi putrinya), demikian juga pendapat jumhurul-ulama (mayoritas
ulama), adapun menurut at-thabari wanita boleh menjadi qadli (bukan presiden)
secara mutlaq.
7. Al Qurthubi
dalam tafsirnya Al Jaami’li Ahkamil Qurán Juz I hal 270 mengatakan :
"Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah
bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka
berselisih tentang bolehnya wanita manjadi qadli berdasarkan diterimanya
kesaksian wanita di dalam pengadilan".
Masih banyak
kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama salaf, yang tidak memperbolehkan
wanita menjadi umara’/pemimpin negara ataupun daerah. Namun meskipun
demikian, bukan fiqh jika tidak ada perbedaan pendapat. Diantara ulama’ khalaf (masa kini ) ada yang
menfatwakan bolehnya wanita menjadi pemimpin. Diantaranya adalaha syaikh
Muhammah al-Gazhali. Namun tulisan
beliau ini sudah banyak dibantah oleh para ulama’ lainnya. Jadi pendapat yang
kuat dan selamat adalah, kita memilih pendapat yang pertama, sebagai ijtihad
yang penuh kehati-hatian : tidak boleh memilih wanita sebagai kepala negara
atau pemerintahan.
Dan juga suatu
hal yang harus diperhatikan oleh umat Islam yaitu maraknya gerakan sekularisme
yang diperjuangkan oleh beberapa tokoh muslim akhir-akhir ini. Umat Islam wajib
menolak dan memerangi gerakan sekularisme, sebab gerakan ini berusaha
memisahkan urusan duniawi (termasuk urusan kenegaraan) dari hukum agama
sehingga penerapan politik negara tidak terikat oleh aturan agama manapun
khususnya aturan Islam. Muatan sekularisme diantaranya, janganlah syariat turut
campur menentukan syarat bagi seorang umara’/pemimpin/penguasa.
Tentu saja
keinginan mereka itu adalah hal yang mustahil untuk dituruti oleh orang yang
beriman. Sebagai seorang mukmin, kita sadar, betapa besar konsekuensi
meremehkan hukum Allah. “Barang siapa yang tidak memutuskan (semua perkaranya)
menurut hukum yang diturunkan oleh Allah (dan Rasul-Nya) maka mereka itu
tergolong orang-orang kafir. (Al-Maidah ayat 44)
Semoga umat
Islam khususnya yang ada di Indonesia diselamatkan dari pemimpin-peminpin yang
tidak diridhai oleh Allah SWT. Amin.
0 comments
Posting Komentar